KAU DAN MATAHARI DI JANTUNGKU
Oleh: Munawara
Mahasiswa Universitas Tribhuwana TunggaDewi Malang
Musim telah berganti, gerimis. Setiap hari, Malang seakan gelap dengan gumpalan awan yang akan beralih pada hujan. Dan pada akhirnya bumi akan basah. Sebasah hatiku yang baru beranjak dari kemarau rasa. Hari ini, dimana tak akan ada hari yang sama dengan keadaannya yang takkan berulang lagi. Dan hari ini, aku menemukanmu. Menemukan senyummu sebagai penghangat hatiku yang kedinginan. Menemukanmu yang terlampau menjadi harapan panjangku selama ini. Karena hanya kali ini, aku berani mencintai seorang perempuan. Dan itu kamu, meski aku tahu kamu tidak akan memiliki perasaan ini bahkan juga tak mau tahu dengan perasaan ini. Meski dengan perasaan ini aku tak yakin kau akan menerimaku sebagai orang yang memiliki rasa padamu. Karena agamaku. Agama, yang sangat bertentangan dengan agama yang kau anut. Tapi inilah rasa, Najma. Rasa yang tak mampu aku halangi bahkan aku hapus dengan alasan agama. Tidak, aku tidak bisa.
“Ar, kok sendiri?” tiba-tiba Badu mengagetkanku dengan sapanya. “he.. bukannya memang biasa aku sendiri Du?” jawabku sambil menepuk pundaknya. “dimana si Najma? Bukannya biasanya kamu sering sama dia?” “tidak sering kok. Cuma ketika ada tugas kimia, kami bareng. Dia belajar ke aku. Kalau nggak, ya nggak bareng lah” “oh... jadi kamu hanya jadi budak tugasnya?”ujar Badu sambil cengengesan. “aku tidak merasa jadi budaknya kok. Wajarkan ada teman yang mau belajar pada kita? ” “ya, kan tapi....” “ah, udahlah, ngomong denganmu kayak ngomong dengan ponaanku yang masih balita tuh! Oya, sekarang kamu kuliah apa?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin dengan apa yang tadi Badu katakan, membuat hatiku ragu untuk berharap memiliki Najma. “pengantar Sosiologi. Pak Afan. Kamu?” tanyanya balik. Berarti dia tidak curiga kalau sebenarnya aku hanya mengalihkan pembicaraan. “kimia. Bu Retno” jawabku sambil melangkah lebih cepat dari arah Badu. Lima menit lagi, masuk. “wow, bakal bareng dengan Najma lagi dong?” aku terkejut mendengarnya meneriakkan nama Najwa. Hah, tapi sudahlah. Aku acuhkan. Aku harus cepat-cepat sampai ke kelas.
@@@
Mataku seperti menerobos dinding kelas. Aku melihatmu bercanda ria dengan teman-temanmu. Ada keceriaan, ada cinta disetiap matamu. Meski aku tahu, pesona cinta yang ada dimatamu itu bukan untukku. Aku hanya menerima pantulannya saja. “hei Ar,.. kapan kamu nyampek kesini? Kok tiba-tiba udah duduk?” “baru saja kok. Kau lagi asyik ngobrol dengan teman-temanmu. Jadi aku tidak ingin mengganggu” ujarku. “oh... oya Ar, ntar aku bareng kamu ya. Takut ada tugas lagi dari dosen” ucapnya sambil menawarkan senyum untukku. Aku hanya mengangguk. Ntahlah, kenapa tiba-tiba aku merasa tak yakin dengan harapanku. Aku tak yakin dengan cinta ini. Ah,.. apa mungkin ini hanya sebatas rasa hawatirku atas apa yang mulai tadi Badu katakan? Yah, benar. Aku terperangkap atas ucapannya tadi. Tapi sudahlah, aku akan tetap menyakini hatiku. Termasuk apa yang hatiku rasakan. “ada dosen, aku ketempatku dulu” bisik Najma. Lalu dia pindah tempat.
Satu jam setengah berlalu, dosen keluar. Seperti biasa, setiap pertemuan dosen pasti memberikan oleh-oleh pada kami. Tugas. Tapi bedanya sekarang tugas itu untuk berkelompok. Dan sayang, kebetulan Najma bukan bagian dari kelompokku. Dia dengan Alfan, anak Probolinggo. Dan yang pasti dia islam. Ah,... kenapa aku kepikiran tentang hal ini, keterlaluan. Tak seharusnya aku berlebihan seperti ini. Aku tak ingin menyiksa diriku dengan rasa yang belum pasti dia memilikinya juga. “Ar, aku pulang duluan ya” pamit Ningsih yang kebetulan duduk disamping kananku. “Ar, nanti sore aja ya kelompoknya. Soalnya habis ini aku langsung kerja Ar. Ntar aku telphone kamu” ucap Siska, satu-satunya perempuan yang ada dikelompokku. “oke, nggak apa-apa kok. Aku mengerti” jawabku. Diapun langsung keluar kelas. Aku lihat Najma masih ada dikursi belakang dengan Alfan dan Maysa. Mungkin mereka masih membahas tugas tadi. Aku tak mau berlama-lama disi. Aku mau pulang saja. Belum makan. “Ar,....” sepertinya ada suara yang memanggilku. Najma. Iya, itu suaranya. Aku menghentikan lankahku. Aku menoleh. Najma menghampiriku. “kau langsung pulang Ar?”tanyanya didepanku. Aku mengangguk. “gimana kalau ngobrol-ngobrol dulu dengan kami. Ngopi aja yuk di kantin? Dari pada pulang? Sepi. Nggak ada temennya” ujarnya sambil tersenyum dan melirik kearah dua temannya. “oke. ayo”. Kami berempatpun keluar kelas. Kami mencari tempat duduk di kantin. Maysa memesan kopi dan makanan ringan. Pembicaraan kami berlanjut. Tiba-tiba Najma mempertanyakan keadaan shalat teman-temannya semenjak ada di kota Malang ini. “oh, kalau aku ngerasa gimana ya... makin alim lah. hehehe”jawab Alfan sambil menerina kopi dari petugas kantin. “bagaimana denganmu Sa?” “duh, ini nih gawatnya. Aku makin nakal!” “waduh, nakalnya gimana tuh Sa. Ninggalin shalat maksudnya? Gawat kalo gitu Sa” Najma melirik kearahku. “Bagaimana dengan kamu Ar?” aku terkejut. Apa yang harus aku jawab? Sedangkan aku tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan. “Ar,...” Najma kembali memanggil namaku. “hm,.. aku merasa lebih senang saja untuk melaksanakan kewajiban itu” ‘wow,.. hebat dong. Kan kalau udah senang, berarti akan selalu istiqamah”. Najma belum tahu, kalau aku beragama Kristen. Bahkan semua teman-teman kelasku. Karena memang sebelumnya tak ada yang mengenaliku di kampus ini. Kecuali Badu, yang memang temanku dari daerahku, dan kebetulan seagama denganku. Jadi hanya dia yang tahu. “sudah waktunya beribadah, sebaiknya kita pulang” ujarku pada mereka saat aku mendengar suara yang biasa disebut adzan oleh mereka. “duh,.. nih anak benar-benar alim. Pengen deh punya cowok kayak dia. Alim banget!!!”ucap Najma. Aku tersentak mendengarkannya. Mendengarkan cinta yang ternyata akan ia bagi pada seseorang yang sangat taat dalam menjalankan perintah agamanya. Sedang aku? “cie.....cie... ayo Ar, jadiin dia cewekmu” ejek si Maysa. Aku hanya tersenyum. “apaan sih, aku bercanda kok Ar. Jangan dengerin dia” “yaudah kalau begitu, aku pulang duluan. Sampai jumpa besok” aku langkahkan kakiku dari tempat duduk. “Ar, sekalian aku minta tolong anterin Najma ke kostnya. Soalnya aku dengan Alfan mau langsung ke toko buku dulu. Gag apa-apa kan Ar?”. Aku mengangguk. “nggak usah Ar”ucap Najma. “ayo, gag apa-apa kok. Aku temani kamu. Siapa tahu ntar dijalan ada sesuatu yang membahayakanmu” “so sweet..... pengen deh dikayak gituin” ujar Maysa sambil senggol lengan Najma. “yaudah, ayo” ajakku pada Najma. Najma pun melangkah kearahku sambil tersenyum. Kami pulang. “kau diam Ar?”tanya Najma sambil melangkah. “aku merasa tidak ada yang harus dibicarakan Najma. Yaudah, kamu aja yang ngomong, ntar aku nyambung” “kau tidak suka bareng denganku ya?”aku menoleh kearah Najma. Aku menatap wajahnya, “kenapa kau tanyakan itu Naj?” “ya, soalnya ketika kau bersamaku kau tidak ceria seperti saat dengan para perempuan yang lain” “semuanya biasa kok. Dan kalian semua adalah temanku” “Ar, sangat beruntung ya, cewek yang bakal ada disampingmu. Kau baik, perhatian, pinter, alim lagi” aku berhenti melangkah. Ada yang teriris mendengarkan ucapan Najma tadi. Hatiku. Aku benar-benar merasa tak akan mendapatkan cintanya. “Ar, kenapa diam? Apa aku salah ngomong kayak gitu?” “tidak. Hm,.. aku belum kepikiran memiliki pendamping Najma. Aku belum menemukan perempuan itu. Perempuan yang akan menerima keadaanku” ”sampai saat ini?”. Aku mengangguk. “atau kau mau untuk menjadi perempuan itu?” “maksudmu?” “oh, nggak. Aku bercanda kok. Tenang aja. Aku nggak mungkin mengganggu dirimu. Lagian mana mungkin kau mau sama laki-laki sepertiku”. “andaikan kamu yakin dengan apa yang tadi kamu katakan. Aku akan menjawabnya. Tapi sayang, kau hanya sebatas bercanda Ar” Najma tersenyum padaku. “sudah sampai Naj. Sebaiknya kau masuk, langsung beribadah. Setelah itu istirahat. Aku pamit pulang dulu” aku meninggalkan Najma. Aku tak mau melanjutkan percakapan yang tak mungkin membuat jawaban iya pada hatiku. Najma takkan mencintaiku jika dia tahu, aku bukan muslim. Aku yakin itu. Jadi aku tak mau mencoba mengatakan hal ini padanya, biarlah cinta ini bersemi mengikuti musim yang sebentar lagi akan meninggalkan gerimisnya. Menjadi banjir.
@@@
“Kalau kau memang suka sama dia, katakan Ar. Jangan pedulikan apa agamamu dan apa agamanya. Lagian dia tidak tahu kan kalau kamu non muslim. Apalagi dia memang udah nganggap kamu muslim juga” saran Badu ketika aku selesai bercerita padanya tentang keadaan hatiku. “sama saja aku membohonginya Du. Dan aku tak mau aku mencintainya, dia mencintaiku atas dasar cinta yang tumbuh karena salah paham. Aku tak ingin membuatnya membenci aku, ketika dia nanti tahu, kalau aku bukan muslim seperti apa yang dia anggap”. “yah, kalau emang begitu. Lupakanlah Najma. Tidak ada gunanya kau mememdam perasaan yang kau yakin tak akan menemukan ujung Ar. Itu Cuma saranku. Terserah, apa yang akan kau lakukan. Ingat, dia sudah memberimu peluang untuk memilikinya, itu terserah bagaimana tindakanmu selanjutnya. Dan satu hal, dia tidak akan pernah tahu agamamu yang sebenarnya kalau kau tidak memberi tahunya. Makanya, jangan takut karena itu”. Aku diam. Sejenak aku memikirkan apa yang Badu katakan. Benar, Najma tidak akan pernah tahu agamaku, jika aku tidak mengatakan padanya. Jadi... “oke Du. Aku akan mencoba mengungkapkan hal ini padanya. Sekarang.” Aku putuskan hal itu pada Badu. “gitu dong,.. baru itu Ariyan sahabatku”. “yaudah, aku ke kost dia sekarang” pamitku pada Badu. Aku berlari, aku lihat sepertinya langit akan merubah mendungnya menjadi hujan. “Ar, ngapain disini?” “kau mau kemana Naj?” “ke kostnya Maysa. Ada perlu” “boleh aku bicara sebentar?”. “tentu. Ada apa Ar?” “ucapanku yang kemarin siang. Itu bener Naj. Aku ingin permpuan yang menemaniku itu, kamu”. “hm,.. bisa aja kamu Ar, udahlah jangan bahas itu. Ayo ikut ke kost Maysa aja” ‘dengan cara apa aku harus meyakinkanmu untuk menyatakan itu Naj? Aku tahu Naj, kamu tidak akan mempercayai semua ini. Karena kau pun tidak akan pernah berharap kata-kata ini keluar dari mulut seorang Ariyan. Laki-laki yang belum begitu kau kenal, laki-laki yang belum mampu memberikan apa-apa kepadamu. Tidak seperti yang lain. Baiklah Naj. Aku memberimu waktu untuk memikirkan perkataanku tadi. Aku ingin kau yang mencintaiku. Itu saja. Mungkin aku langsung pulang saja. Takut senbetar lagi hujan. Sampai jumpa besok”aku langkahkan kakiku. Aku berharap membawa cinta dengan kepulanganku. Tapi sayang, itu tidak terjadi. Najma belum bisa menerima ini. “Ar, kau takut hujan atau kau takut tidak menerima jawaban dariku?” aku menoleh. “kenapa? Apakah kalau aku bilang takut hujan kau akan memberikan payung untukku? Atau jika aku bilang takut tidak menerina jawaban darimu kau akan memberikan jawaban itu untukku?” Najma tersenyum “yaudah, sekarang kau minta payung apa jawaban?” “aku minta jawaban. Karena jawaban itu adalah payung bagiku” aku kembali mendekatinya. “oke. Aku akan mencoba untuk menjadi perempuan itu. Aku akan mencintaimu semampunya aku. Sudah, sekarang pulang. Aku sudah memberikan jawaban yang akan kau jadikan payung untukmu pulang” “kau serius akan menjadi yang ku katakan tadi?” Najma mengangguk. “aku juga berharap akan mendapatkan orang sepertimu Ar” aku menatap mata Najma lekat. Aku tersenyum, dan setelah itu akupun pamit pulang.
@@@
Sudah lima bulan aku menjalani hubungan dengan Najma. Kurasa dia sudah benar-benar mampu mencintaiku, seperti bagaimana aku mencintainya. Badu benar, sampai kapanpun Najma tidak akan tahu tentang agamaku. Yah, sampai sekarang. Dia masih menganggapku muslim. “Ar, sudah adzan, kita shlat berjemaah di masjid yuk...” wow! Gawat ini, kenapa tiba-tiba hal ini terjadi? “ehm,.. aku ke Lab dulu Naj. Tadi bu Retno manggil aku. Mungkin nitip tugas. Aku kesana dulu. Nggak enak kalau terlambat datengnya. Yaudah kamu shalat duluan. Ntar aku kesini lagi” aku balikkan tubuhku. Aku melangkah kearah kampus yang kebetulan disebelah kanannya masjid itu. Aku duduk dikursi kantin. Aku menunggu sekiranya Najma turun dari masjid. Maaf Najma. Terpaksa aku bohong. Tidak ada panggilan dari bu Retno untukku. Aku hanya tak ingin memberikan jawaban yang akan membuatmu mulai curiga terhadap aku. Apa yang sebenarnya menjadi agamaku.
Sepuluh menit berlalu, aku menghampiri Najma. Diapun telah menungguku disamping masjid. “maaf jika membuatmu menunggu lama. Ayo pulang, sudah siang” “kau shalat saja dulu. Aku tunggu di sini” “nggak. Aku shalat di kost saja. Lagian setelah ini aku langsung ke kost Badu. Aku mau ambil tugas-tugasku yang kutitip di sana”. “oh gitu. Yaudah, ayo pulang. Oya Ar, besok hari minggu. Temani aku ke toko buku ya” “duh, aku nggak bisa Naj” “kenapa Ar?” “aku punya janji dengan Badu untuk nganter dia ke kost temennya. Kapan-kapan ajalah” “yaudah. Aku tunggu kamu bisanya kapan”. “aku masuk dulu. Hati-hati” Najmapun masuk ke kostnya. Lagi-lagi aku membohonginya. Maafkan aku Najma. Hari Minggu aku harus ke gereja. Dan maaf, jika aku tidak seperti mereka yang lain. Yang biasanya hari minggu adalah hari buat mereka jalan dengan pacarnya. Maaf. Aku tidak akan bisa untuk itu.
@@@
Sebulan setelah Najma mengajakku ke toko buku. Aku merasa kasian padanya. Sampai saat inipun, aku belum sempat mengantarkannya kesana. Sedang hanya hari minggulah hari libur kuliah. Setiap hari aku ada di kampus, membantu ibu Retno menjaga Lab kimia. “Ar, aku bareng Maysa aja ya ke toko bukunya. Kau masih sibuk” “nggak apa-apa nggak aku temenin?” “nggak apa-apa. Ada Maysa kok, yaudah aku berangkat dulu” “hati-hati Najma. Lain kali aku pasti usahakan untuk menemanimu” Najma mengangguk, lalu pergi.
“kau belum pernah pernah menikmati hari Minggu dengan Ariyan Naj?”ucap Maysa pada Najma. “belum. Kenapa May?” “ya, nggak asyik aja. Coba deh kamu ajak dia” “udah aku ajak May. Tapi dia selalu nggak bisa. Sibuk katanya” “kamu nggak pernah datengi kostnya langsung?” “belum” “coba deh, besok Minggu. Kamu langsung aja ke kostnya. Terus, ajak dia jalan. Pasti bisa kok. Nggak mungkin dia bilang nggak bisa kalau kamu udah kadung nyampek ke kostnya” ‘boleh juga. Aku coba besok”.
Kesokan harinya setelah Najma membeli buku di daerah Landungsari bersama Maysa. Dia tak lagi mengabariku, ntahlah. Apa mungkin dia kecapean di kostnya. Aku tak mau mengganggunya dulu. Lagian sekarang aku harus ke gereja. Miungkin nanti aku datangi dia langsung ke kostnya.
“Ar,.....” “cari siapa mbak?” “Ariayan mas. Dia kemana ya mas?” “oh, biasa mbak hari Minggu” “emangnya kemana mas?” “ke gereja mbak” “ke gereja? Ngapain mas?” “masak sih mbak nggak ngerti. Yah, kalo ke gerejma berarti berdoa. Masak mau jual ikan. Nggak lah. Yaudah, aku ke kost temen dulu mbak. Tunggui ajah mas Ariyan disitu, ntar lagi pasti dateng kok” tidak mungkin, Ariyan tidak mungin ke gereja. Aku tidak percaya itu. “Najma, ngapain disini, sudah lama Naj?” “dateng dari mana Ar?” “a,..aku” ‘mau bilang kalau habis nganterin Badu ke kost temennya? Atau apalagi alasanmu Ar?” aku diam. Sepertinya Najma sudah tahu, aku dari gereja. Tuhan,.. hanya sampai disinikah kesempatan bagiku untuk memilikinya? Aku tidak rela tuhan jika harus hari ini dia meninggalkanku. “kenapa kau tidak jawab Ar?” “apa yang harus aku jawab lagi Naj? Bukankah kau sudah tahu aku datang dari mana? Jadi tidak ada yang perlu diperjelas kan? Karena semuanya sudah cukup jelas”aku menunduk. Aku tak ingin melihat wajah Najma. “jadi ini alasanmu, kenapa selalu menolak ketika hari minggu aku ajak pergi? Kau ke gereja? Kenapa kau harus bohong nganterin Badu lah apalah” Najma marah besar. Aku terima. Semua ini salahku. “karena aku tahu Najma. Aku takkan bisa mengatakan hal itu padamu” “lalu, dari dulu kenapa kau pura-pura muslim Ar?” “aku tidak pernah pura-pura muslim Najma. Ketika di kantin kau menanyakan tentang iman kita sejak ada di Malang. Aku jawab, aku semakin merasa senang melaksanakan kewajibanku. Yah. Aku senang pergi ke gereja? Apa itu salah Najma? Sama seperti kamu senang mendatangi masjid. Aku terima, bahkan aku antar kamu kesana. Ketika aku pamit pulang dengan alasan mau ibadah, itu semata-mata ingin menghargai waktu shalatmu. Apa itu salah Najma? Sedangkan aku tak pernah mempermasalahkan tentang kamu dan agamamu?” Najma menangis. Ntah, aku tak tahu apa yang dia rasakan sekarang. “tapi itu masalah dalam agamaku Ar... agamaku tidak memperbolehkan terjalinnya hubungan seseorang yang berbeda agama. Dan aku, kamu beda Ar....” aku menunduk. Sekali aku tatap mata Najma. “aku mengerti Najma. Maaf jika aku telah membuatmu begini. Mulai sekarang, aku akan meninggalkanmu. Aku akan menghapus segla harapan tentangmu. Dan aku janji Najma. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Sudah siang, lebih baik kamu pulang. Aku antar ya,...” najma menatapku. Ada air mata yang jatuh di pipinya. “tidak. Aku tidak akan memintamu untuk lagi menemaniku Ar, kau penghianat. pembohong” Najma berlari cepat dari hadapanku. Ada sedu yang terdengar darinya. Dia merasakan sakit. Mungkin. Sama sepertiku merasakan itu. Aku juga sangat sakit menerima semua ini Najma. Sampai sekarang, aku masih berharap kau masih denganku Najma. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Yesusku, karena bagiku, Yesus adalah MATAHARIku.... matahari yang akan memberi kecerahan dalam hidupku. Maafkan aku, jika aku tak bisa mempertahankan cinta ini untukmu. Cukuplah aku rasakan dalam hatiku Najma. Cukup kau tahu, bahwa aku mencintaimu. Dan aku mencintai Matahariku. Yesusku. Karena tanpa Matahari itu, aku tak kan mungkin mampu mencintaimu Najma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar