Senin, 16 Juli 2012

APRIL, KEMBALI BERBADAIKAH?



Kisahku berkelanjutan. Dari April kemarin. Tentang badai yang sempat kuungkap dioretan yang berjudul Badai di Aprilku. Kisah yang sempat terungkap di majalah pesantrenku, Iltizam. Dan kali ini, aku mau melanjutkan kisah itu. April edisi 2012. Bulan ini. Bulan yang sedang aku nikmati. Meski masih pahit dan serba ragu atas tanda tanya alur ceritaku. Tentang April yang dipertanyakan musim. Antara kemarau atau penghujan.
@@@
Masih sangat aku ingat, apa yang terjadi di bulan April yang lalu. Tepat setahun dari detik ini. Tentang darah yang mengalir dan akhirnya harus membuat satu nyawa melayang dari sisiku. Ayah. Kejadian kedua, adalah mimpi yang pupus. Tentang sekolah atau kelanjutan pendidikanku ke perguruan tinggi negeri, gagal aku dapatkan. Jauh dari apa yang menjadi rencanaku. Kejadian ketiga, aku harus kehilangan sahabat-sahabat penaku. Dan terakhir, aku harus memutuskan untuk membuang jauh-jauh tentang pangeran kecilku. Masih dengan nama Ilham. Begitulah alur ceritaku di April kemarin. Dan kali ini, ceritaku tak jauh beda. Masih ramang seperti halnya debu. Harus terombang ambing oleh angin.
            Tetap, tentang kisah perjuangan perempuan yang beranjak berumur 20 tahun di 14 April nanti. Perjuangan yang sangat miris, bagiku. Karena saat ini, aku masih sendiri dalam mencari jati diriku. Ah… perjalanan masih jauh, terjal. Sedang emak dan keluargaku sudah berseru dengan keadaan perekonomian keluarga kami, teringat tentang rencana kenaikan harga BBM yang juga tengah menjadi keresahan rakyat, termasuk warga di desaku. Meski sejenak masih diundur pada beberapa bulan lagi, tapi itu tetap akan jadi keresahan. Beginilah keadaan warga yang dalam perekonomian kelas bawah. Gelisah. Disamping kegelisahan itu, kali ini aku merasa dihadapkan pada pilihan yang sama beratnya. Harus melanjutkan kuliah dengan biaya yang masih diragukan, atau berhenti lalu diam menjadi pengangguran. Pikirku masih sangat kanak untuk memutuskan antara dua pilihan yang bagiku sangat berat ini. Mungkin, bagi yang lain hal ini sepele. Tapi bagiku, hal ini mampu membuatku harus menghiasi hari-hariku dengan menangis. Karena, aku tidak tahu apakah besok aku akan tetap berdiri di kampusku yang sudah 7 bulan menjadi naungan pencarian jati diriku, kampus swasta yang akhirnya menjadi pilihanku tahun kemarin setelah aku gagal dan pupus harapan tuk menjadi mahasiswa kampus negeri. Aku juga ragu, apakah besok aku masih mampu berdiri di tengah kampusku layaknya teman-temanku yang lain. Yang tidak pernah mempermasalahkan ekonomi mereka, lebih tepatnya kebutuhan mereka sehari-hari. Sedang aku, untuk makan saja satu kali sehari. Sederhana, nasi jagung dengan lauk tempe. Lauk yang amat tidak pernah aku suka dari semasa kecilku. Tapi demi kelanjutan hidup, terpaksa aku telan di mulut meski terkadang saat makan rasanya ingin muntah. Bukan sombong, tapi memang aku tak bisa makan lauk tempe. Ada alasan yang sangat panjang jika harus kuceritakan di sini. Kedua, masalah biaya saat aku harus ngeprint tugas kuliah berupa makalah. Sangat menjadi masalah bagiku, meski hanya berkisar pada harga Rp. 5000, tapi bagiku, sulit. Hingga terkadang aku harus ambil jalan tengah. Mungkin memang salah, tapi ini biasa aku lakukan. Menjual hasil makalah yang kubuat pada teman-teman kelompokku. Dengan itu, aku tidak usah membayar makalahku, bahkan terkadang jika ada sisa, aku minta keikhlasan teman-teman agar sisa uang itu menajdi hakku. Itu yang membuat aku mampu menunjang hidupku, meski berlaku sementara. Tapi setidaknya hari itu aku makan.
@@@
Waktu tak pernah mau berhenti. Hingga tibalah langkah ke lima di Aprilku. Ada yang tergoncang, dan itu hatiku. Lagi-lagi aku harus menangis. Uang sakuku benar-benar habis. Sedang iuran almamater kelas di jurusanku harus disetor pas di hari ini juga. Sedang aku terlalu malu yang mau meminta uang pada emak di desa. Sebab ia juga selalu mengeluh atas pendapatannya yang juga tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya dalam keluarga. Aku paham. Karena dia hanya pedagang asongan. Sedang kakak iparku pun tak memiliki kerjaan tetap, mbakku dia hanya menjual es seharga Rp. 250, setiap harinya. Itupun iya, jika laku. Jika tidak? Sedang ia juga memiliki tanggungan dua anak lelaki yang sudah besar dan pastinya butuh biaya sekolah dasar dan TK nya. Lalu? Pantaskah aku selalu dan mau meminta uang pada mereka? Meski sejatinya ini adalah tanggungan keluarga. Tapi sangat beda. Segalanya mempertanyakan kekurangan ini. Aku pun memilih diam. “dik Ra, kau masih butuh beasiswa kuliah?” degg… hatiku tersentak keras. Aku pun menoleh pada arah suara di belakangku. Kak Faizal, kakak tingkatku di jurusan komunikasi yang juga sedaerah denganku. Dari Madura. “kenapa kakak tanyakan itu?” akupun membalikkan sebuah pertanyaan. Tumben dia angkat tema ini padaku. “aku paham keadaan keluargamu, dan aku mengerti apa yang menjadi keresahanmu akhir-akhir ini. Aku minta maaf dik, jika sampai saat ini tidak dapat mencarikanmu pekerjaan seperti yang kamu pinta setengah bulan yang lalu. Dik, aku dukung jika kamu mau kembali memperjuangkan masa depanmu. Yah, dengan beasiswa penuh ini. Coba saja kau cari informasi kelanjutannya. Aku ada teman di Jember. Dia semester 6 jurusan ilmu Hukum. Mungkin kau bisa minta bantuannya” aku menangis. Ntahlah… rasaku bercampur aduk. Aku masih trauma. Aku takut kembali gagal. Aku takut untuk kembali bermimpi dan harus menerima kenyataan yang lebih sakit dari tahun kemarin. Ayah, apalagi sudah tidak ada dia yang mau menjamin akan semua ini. “dik, kenapa kau malah menangis? Bukankah ini yang memang kau inginkan? Mau kuliah di kampus negeri dengan beasiswa penuh serta tanggungan hidupmu?” kak Faizal menatapku penuh rasa cemas. “aku mendukungmu. Coba saja, siapa tahu kali ini keberuntungan itu berpihak padamu” aku pun menghela nafasku. Aku mencoba tersenyum. “aku takut mempermalukan keluargaku lagi kak. Memang, niatku adalah untuk mengurangi beban emak. Tapi apakah mereka akan mengerti dengan alasanku ini?” ujarku, dan aku menunduk di depan kak Faizal. “kamu minta restu sama mereka. Katakan alasanmu. Kakak yakin, mereka akan mengerti bahkan ngedukung kamu. Toh ini juga demi kelancaran pembiayaan kuliahmu” aku berdiri dari depan kak Faizal. Aku pamit padanya. Aku memilih untuk pulang ke kost untuk menelpon emak dan saudara perempuanku, mbak Aisyah. Meski saat itu aku belom sempat memberi keputusanku pada kak Faizal atas apa yang dia tawarkan tadi.
@@@
Langit mendung. Malang masih gerimis. Kali ini, musim penghujan benar-benar memperpanjang waktunya. Kemarau tidak akan pernah datang. Dan… badai akan segera merampas harapanku kembali. “nak, jangan buat keluargamu malu lagi. Dari dulu kamu menyiksa keadaan kami. Tolong, terima saja apa yang kamu dapatkan di Malang. Untung kau masih bisa kuliah. Jadi jangan ada rencana kemana-kemana. Hanya mengahabiskan uang saja. Emak sudah tidak berani membiaayai kamu lagi” air mataku kembali mengalir. “lek, jangan terlalu bermimpi setinggi itu. Kau selalu gagal. Jadi sudahlah nggak usah mencoba lagi untuk ikut tes beasiswa itu. Toh kalau pada akhirnya juga gak dapat lanjut mbakku yang mengganti omongan emak di handphone. “mbak, aku tidak pernah mau membuat kalian malu pada tetangga karena aku. Aku hanya ingin mewujudkan cita-citaku untuk kuliah di Negeri dan dengan biaya penuh. Mbak, maaf ya… jika ternyata keputusan aku membuat kalian merasa malu. Aku hanya ingin meringankan beban kalian. Aku malu mbak, setiap bulan nelphone kalian hanya mau minta kiriman uang. Sedang aku mengerti keadaan kalian di sana” aku tahan tangisku. Aku sakit saat ada orang yang tak percaya perjuanganku. Dan itu keluargaku sendiri. “baiklah, itu terserah kamu. Mau cari beasiswa kemana saja. Tapi kami lepas tangan. Jangan ada kata mau minta uang untuk biaya itu. Kami sudah tidak sanggup” hanphonenya pun diputus. Tanpa seucap salam. Aku tersedu sendirian di kostku. Aku terisak, sangat. Aku merasa tak mampu hadapi hidupku yang begini, keluargaku pun sudah lepas tangan dari juangku. Lalu siapa yang mampu ada untukku? Ayah… aku minta maaf. Aku tidak pernah mau mempermalukan mereka ayah. Aku hanya ingin kembali berjuang untuk mendapatkan beasiswa kuliah di kampus negeri itu ayah. Ayah, aku tidak punya siapa-siapa. Aku mohon ayah, doakan aku pada Allah. Aku janji ayah, aku akan tetap memperjuangkan kesempatan ini. Aku akan berangkat sendirian ke kota tujuan. “Drut…drut…” tiba-tiba handphoneku bergetar. Ada sms masuk. “dik, ada lomba menulis fiksi dibalai kota. Hadiahnya ratusan ribu serta tropi dan sertifikat. Kalo adik minat daftar saja. Pelaksanaannya nanti siang jam 13.00 Wib di aula balai kota” sms dari kang Fauzi, kakak seniorku di organisasi ekstra kampus. Hatiku bergeming. Aku pun putuskan untuk ikut lomba itu. Aku sangat berharap mendapati juara itu. Aku butuh uang untuk ongkosku ke Jember minggu ini. “persyaratannya apa saja kak?”aku membalas smsnya dengan pertanyaan. “uang pendaftaran Rp. 10.000 dan mengisi formulir ditempat pendaftaran nanti siang” haah… aku pun memejamkan mataku sejenak. Seraya berpikir ulang. Apakah aku mampu ikut lomba itu, sedang seribu pun aku gak ada uang. Hah… sttt… akupun terpikir berhutang. Pakai uang iuran anak kelas yang ada di aku. Yah aku pakai itu. Berharap akan ada imbalan lebih. Menjadi juara. Dan akupun mendaftarkan diri, dengan meminta kak Rizal, Pembina majalah di kampusku untuk mengantarku ke balai kota siang itu.
@@@
07 April 2012. Tepat pukul 06.00 Wib. Aku terbangun dari tidurku. Aku bergegas ke kamar mandi. Pagi ini nominator lomba menulis yang kemaren akan diumumkan di Koran Malang pos, aku harus membeli Koran itu. Berharap ada dan terpampang namaku. Meski nyatanya lagi-lagi aku harus berhutang untuk membeli Koran seharga Rp. 3000 itu. Tapi okelah…. Aku pun berlari ke kios dekat kostku. Terlambat. Koran Malang pos habis terjual. “pak, di mana lagi ya pak yang jual koran Malang pos? soalnya sangat butuh pak” tanyaku pada penjual Koran itu. “kamu jalan lurus, nanti belok kanan. Disitu ada penjual bensin. Kios kayak gini juga, disitu ada” jawab pak penjual Koran itu sambil menunjukkan arah dengan tangan kanannya. “terimakasih pak” ucapku seraya berlari dari arah bapak itu. Hufh… jauh. Dua puluh menit kemudian, akhirnya sampai di kios itu. Lelah. Berjalan kaki dengan nada jalan yang cepat. Hah.. tapi tak apalah. Demi Koran ini. “bu’. Koran Malang posnya ada?” tanyaku pada perempuan separuh baya itu. “tinggal satu dik” aku pun bergegas mengambil Koran itu seraya menyodorkan uang bayarannya. Terasa senang. Tapi saat itupun perasaanku gemetar. Takut. Berharap, dengan membuka Koran ini, namaku terpampang. Aku buka perlahan halaman demi halaman. “ini dia para nominator lomba menulis fiksi” judul yang isinya mengumumkan para pemenang lomba menulis itu. Aku eratkan pegangan tanganku dengan selembar koran yang tersisa di tanganku. Badaiku datang. Aku kalah. Segalanya menjadi mimpi saja. Agh…. Aku lelah Tuhan. Kenapa lagi-lagi aku harus kalah. Bagaimana emakku akan percaya aku akan mendapatkan beasiswa, sedang untuk hal inipun aku tak bisa jadi pemenang? Tangisku semakin menjadi di samping kios itu. Anak kecil tiba-tiba melihatku. Dia tersenyum. Ntahlah, mungkin dia menganggap aku gila. Menangis dijalanan dengan nada jalanku yang seperti rapuh. Aku gagal dapatkan uang itu. Allah… apa yang harus aku lakukan lagi? Mencari pekerjaan tak dapat. Ikut lomba juga tak beruntung. Sedangkan aku sangat butuh uang itu. Aku sangat butuh. “drut…drut…” handphoneku bergetar. Sms. “Ra, cepat ke kampus. Seminar sudah mau di mulai. Jangan lambat” aku matikan handphoneku. Akupun tak sempat membalas sms Haura sahabat yang sejurusan denganku. Aku lelah… aku tak tahu mau bagaimana. Akankah Aprilku kembali berbadai atau bahkan berdarah? Sedang aku sudah tak tahu mau menyikapi semua ini dengan apalagi.
@@@
Aku serentakkan hati dan pikiranku tuk menyatu, seirama dengan apa yang akan menjadi tindakanku. Hari ini aku berangkat ke Jember. Tekat berhutang sebesar Rp. 100.000 pada temanku. Dan aku sendirian dalam perjalanan ini. Aku selalu berharap, semua juangku ini akan menemukan jawaban yang pasti dari Allah.
            Aku tak mau jadi anak durhaka. Maka akupun kembali menghubungi emakku. Meminta restu padanya. Tiba-tiba terdenagr suara rintih, dia menangis. Ntahlah,.. “nak, maafkan emak ya. Emak tidak mampu membuatmu bahagia. Nak, emak tidak pernah melarangmu berjuang. Tapi emak kasian jika kamu harus berjuang sendirian di sana. Jika nanti kamu harus ngulang lagi kuliahmu. Emak ingin kamu cepat lulus. Emak kasihan padamu nak. Kau pasti lelah harus ngulang semuanya dari depan” aku tak mampu memungkiri. Air mataku berdarah. Akupun menutup wajahku dengan kedua tanganku. Karena tak mungkin aku menangis tersedu didalam bus yang sangat banyak penumpangnya. “emak, ridlai langkah Rara mak. Rara janji, akan selalu menjaga diri. Rara janji mak, kali ini Rara akan memperjuangkan semua ini dengan baik dan bijaksana. Emak tidak usah khawatir. Rara tidak akan pernah lelah dalam perjuangan ini. Emak, doakan saja, ikhlaskan perjuangan Rara kali ini. Hanya dengan ketulusan dan ikhlas emak, Rara akan berusaha dan berhasil menjadi perempuan kuat. Emak, jaga diri baik-baik. Rara sudah siap dengan kenyataan nanti. Lulus atau tidak, Rara akan terima. Terpenting bagi Rara, emak tetap percaya. Bahwa Rara tidak pernah main-main dalam perjuangan ini, meski nyatanya keberuntungan masih belum pernah berpihak. Dan, Rara janji, Rara akan membuat emak bangga bahkan tidak malu lagi pada para tetangga kita. Rara pamit. Doanya mak… assalamualaikum” ujarku seraya menutup handphoneku sebelum ku dengar jawaban salam dari emak. Aku hanya tak ingin memperpanjang tangisnya. Sakit, dan aku tak tega. Akupun kembali tenangkan diri, bus pun melaju dengan cepat dari terminal Arjosari Malang. Di saat itu juga aku kuatkan yakinku.
            Aku tidak pernah tahu apa yang menjadi rencanaMu untuk hidupku. Tapi aku sangat percaya Tuhan, Kau tidak akan pernah membuatku mati karena badai yang selalu hadir dalam hidupku. Aku selalu percaya, bahwa Kau juga tak akan pernah membiarkan aku mati karena lapar, haus atau bahkan lelah. Tuhan, untuk kali ini, sebelum April beranjak lebih jauh lagi. Aku memohon padaMu. Biarkan aku menikamati Aprilku. Meski masih musim penghujan. Tapi jangan Kau biarkan ada badai. Aku hanya ingin membuat emakku, saudaraku bahagia dengan perjuanganku ini. Aku mencintai mereka. Dan izinkan aku memberi bingkisan di akhir April nanti. Sebelum segalanya terjawab pahit lagi.

*terimakasih, aku akan datang tepat waktu, Emak…


Biodata Penulis
Rara Zarary, 140492. Alumni PP. Annuqayah Latee 2. Mantan dari kepengurusan FLP ranting Sumenep, tepatnya di Latee 2. Dan kali ini berdomisili di Malang. Mahasiswa Universitas Tribhuwana jurusan Ilmu Komunikasi. Asli dari Lenteng Barat Sumenep Madura. Dari keluarga yang sangat sederhana. Tapi penuh cinta. Dan karya ini, adalah wujud bagian dari cinta mereka. Terimasih Emak, karya ini untukmu tentang Aprilku yang tumbang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar