PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mendengar kata “filsafat” membuat semua orang memiliki asumsi yang beragam. Tentang kehancuran, kesesatan, bahkan kerusakan pikiran atau yang biasa dikatakan dengan pikiran liberal. Dan pikiran tersebut muncul akibat kurang pengertian atau kurang pahamnya seseorang terhadap hakikat filsafat itu sendiri.
Maka dari itu, sangat perlu bila penulis membahas tentang bagaimana filsafat, yang ternyata hal tersebut pun ada dalam kerangka islam. Seperti judul yang diangkat pada makalah ini “Ijtihad dalam kerangka pemikiran filsafat islam”. Sehingga tidak akan terjadi kerancuan pengertian para umat akan kata filsafat tersebut.
Dalam tulisan ini spesifiknya membahas akan Ijtihad itu sendiri. Ijtihad para mujtahid dalam pengambilan putusan hukum yang tidak dijelaskan dalam kedua sumber islam, al-Qur’an dan al-Hadist. Akan tetapi, ijtihad ini tidak semerta-merta berjalan sendiri. Melainkan berdampingan dengan filsafat, yang di dalamnya tersebut terdapat para filosof-filosof yang akan berperan di dalamnya. Oleh karena itu, pemikiran miring dengan kata filsafat seharusnya diluruskan. Agar juga tidak salah pengertian tentang ijtihad yang menjadi gandengan dalam islam.
Maka dari itu, perlu digaris bawahi, bahwa ijtihad disini merupakan kerangka dalam islam yang menghidupkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an dan Hadist. Maka berdasarkan ini, sangat perlulah adanya filsafat-filsafat tersebut dalam islam. Guna mempertimbnagkan atau menjadi jembatan pengambilan putusan yang masuk akal (rasional/secara logika) dan tentunya tidak melenceng dari syari’at islam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang yang telah di paparka diatas maka, makalah ini secara husus membahas tentang:
- Apa itu Ijtihad?
- Apa saja bidang kajian dalam Ijtihad?
- Bagaimana peran Ijtihad masa ini?
- Serta apa itu, Ijma’, Qiyas, Takwil dan Dalil?
yang semua hal tersebut merupakan point-point dalam ijtihadnya para filosof-filosof islam.
1.3 Tujuan Penulisan
Dengan rincian rumusan masalah diatas, maka penulis bertujuan untuk lebih memahami apa itu, iJtihad, bidang-bidang yang ada dalam Ijtihad, peran Ijtihad, Ijma’, Qiyas, Takwil, dan Dalil. Serta ingin memahami dimana letak kefilsafatan dalam hal yang telah tersebut diatas akan peranannya dalam islam.
1.4 Manfaat Penulisan
Sebagai orang isalam, selayaknya kita memahami akan apa yang di maksud ijtihad dalam islam serta kepingan-kepingan yang mengiringinya. Selain itu, juga untuk membuat penulis dan para pembaca memahami betul apa yang disebut-sebut dengan filsafat. Agar kita tidak sewena-wena atau sembarangan dalam memahaminya. Maka disinilah dipikir perlu untuk ditulis atau dibahas kembali tentang ijtihad dalam kerangka filsafat islam ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsep ini, kata “Ijtihad” tidak diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata Ijtihad, berasal dari bahasa arab yaitu, “al-jahdu” dan “al-juhdu” yang berarti “daya upaya atau usaha keras”. Ijtihad berarti, “berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini pengertian ijtihad adalah: usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariatdari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.
Ijtihad berasal dari kata kerja “yajtahidu” (berijtihad), dan kata benda “ijtihad” dapat ditemui pada bagian awal fikih dalam bab-bab Thaharah shalat dan syiham.
Ijtihad menurut definisi hukum fikih yaitu, pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fikih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara. Dan hyukum syara menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku dibidang fikih, bidabg hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan ‘nezhariy.
Pengertian-pengertian tentang ijtihad tersebut di atas, jelas memberikan pandangan yang mendasar, bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum syariat melalui pemikiran yang sengguh-sungguh berdasarkan dalil naqli, yakni al-Qur’an dan Hadist.
Hadist tersebut tentunya merupakan hadist shahih. Berdasarkan rumusan Ibnu Hazan dimana hal tersebut menimbulkan perbedaan-perbedaan pengertian ijtihad menurut mayoritas ulama ushul. Mayoritas ulama ushul, berprinsip bahwa tidak ada ijtihad dalam menghadapi nash dan ijtihad menjadi tertolak manakala terdapat nash. Prinsip dari minoritas ulama bahwa sumber hukum syara adalah hanya al-Qur’an dan al-hadist, shahih, dan hukum yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an atau Hadist shahih tidak dapat diterima.
Adapun definisi ijtihad yang dirumuskan oleh Ibnu Hazan sebagaimana dirumuskan oleh minoritas ulama ushul, mengandung beberapa kelemahan. Dan menurut pendapat Ibrohim Husein, kelemahan itu adalah:
· Ijtihad adalah mencari hukum dari nash
· Ijtihad ialah memeras pikiran
· Arti nash ialah, yang tidak menerima penafsiran atau penakwilan
· Dalam ijtihad, yang berperan adalah pikiran manusia
· Perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul tentang “apakah nabi Muhammad SAW. Melakukan ijtihad dalam menunggu wahyu”
Dari berbagai asumsi yang dapat diambil dari rumusan ijtihad Ibnu Hazan adalah sejalan dengan prinsip mereka yang mengatakan bahwa hukum islam hanyalah al-Qur’an dan al-Hadist, suatu prinsip yang dipegang oleh para ahli Ulama Zhahir (yaitu, Dawud al-Zhahir dan pengikutnya). Satu hal yang perlu digaris bawahi, ialah baik dalam mayoritas atau minoritas para ulama ushul ijtihad berbicara hanya masalah taklifiy. Disinilah titk temu diantara kedua pengertian tersebut. Berdasarkan pengertian dari kedua belah pihak ulama tersebut, maka ijtihad tidak berlaku dalam masalah aqidah.
2.2 Bidang Kajian Ijtihad
Setiap ketentuan yang berlaku di kalangan masyarakat beradap, memilik,i aturan permainan. Demikian pula soal ijtihad dan ketentuan hukum agama pun memiliki aturan permainan pula. Adanya aturan permainan tersebut oleh para ulama yang kompeten telah disimpuylkan dari prinsip-prinsip umum al-Qur’an.
Didalam melakukan Ijtihad terdapat beberapa hal yang yang harus dan perlu diperhatikan. Perhatian tersebut harus tertuju pada aspek-aspek atau bidang-bidang kajian yang menjadi acuan ijtihad. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, terdapat dua bidang kajian. Yaitu:
- Al-Qathiyyat, yaitu: hukum-hukum yang ditetapkan oleh dalili-dalil yang tegas dan konkrit, tidak mengandung kemungkinan untuk diberikan penafsiran logika.
- Az-Zhaniyat, yaitu: beberapa ayat-ayat yang Dzanni (sangkaan) ia menempati tempat antara yakin dan ragu.
Bagian pertama “al-Qathiyyat” dibagi dalam tiga bidang, antara lain:
- Bidang Aqidah (keyakinan) dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Aqidah merupakan suatu prinsip yang membatasi seseorang apakah mukmin, atau kafir. Karena itu, persoalannya haruslah ditetapkan melalui konteks yang meyakinkan. Contoh: tentang ke-Esa-an Allah, wujud syurga dan neraka dan lain-lainnya. Bidang ini, berlaku abadi. Artinya tidak bisa disentuh oleh penafsiran para mujtahid dan tidak diperbedakan oleh seluruh kaum muslimin.
- Bidang Amaliyah (praktek) dari Aqidah, ketentuan bidang ini ditegaskan secara konkret oleh syar’i (Allah dan RasulNya) sendiri. Seluruh umat islam dalam hal ini sepakat. Ia juga bukan menjadi lapangan kajian mujtahidin serta berlaku tetap, tidak berubah-ubah dalam situasi kondisi bagaimanapun. Contoh: puasa bulan ramadlan, shalat wajib lima waktu, haramnya perzinahan dan lainnya.
- Bidang kaidah-kaidah hukum, yang diambil dari syari’at islam. Baik melalui teks-teks yang konkret maupun melalui penelitian cermat dan menyeluruh terhadap hukum-hukum yang ada di dalamnya. Contoh: la dharara wala dhirar, yaitu: tidak mengganggu klepentingan orang lain dan tidak mungkin diri sendiri.
Dari ketiga bidang aqidah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aqidah, amaliyah dan sebagian kaidah-kaidah hukum obyek penelitian ijtihad, bukan menjadi arena perdebatan dan tidak berubah-ubah.
Bagian yang ke-2 “az-Zhaniyat” dibagi dalam tiga hal. Yaitu:
- Bidang pemikiran theology (ilmu kalam)
- Bidang amaliyah
- Bidang kaidah-kaidah madzhab
Kedua pandangan di atas sama-sama bertujuan hendak menyucikan dan memaha sempurnakan Allah. Tetapi jalan pemikiran masing-masing berbeda. Tergantung dari segi mana kita memandang. Dengan begitu, seseorang hanya bisa dianggap mukmin bila meyakini akan kemaha sempurnaan Allah dan tidak mukmin bila meyakini adanya kekurangan pada Allah.
Sebagai kesimpulan dan keterangan dari apa yang dimaksud dari kedua bagian diatas ialah, bahwa dalam bentuk hukum dalam syari’at islam meliputi: al-Qathiyat dan az-Dzaniyat. Masing-masing kedua hal tersebut membahas bidang aqidah, amaliyah dan kaidah-kaidah.
Dalam syari’at islam, terdapat hukum-hukum yang dibuat menurut konsepsi diatas. Allah menyerukan agar kaum muslimin bersatu di atas konsep di atas. Sebab itu, Allah menetapkan hukum-hukum menurut cara yang tegas, tidak mengandung kemungkinan lain dan tidak bisa diperdebatkan. Dengan cara ini, kaum muslimin berada dalam satu kesatuan yang bulat, dan dalam persaudaraan yang utuh untuk mencapai satu tujuan, melalui pikiran dan jiwa yang sama.
2.3 Ijtihad Dewasa Ini
Kemampuan berijtihad bagi umat islam kian dituntut agar sanggup membaca dan mengikuti perkembangan kehidupan dan kebutuhan hidup yang semakin menuntut kemampuan dibidang ilmu dan tekhnologi. Disamping itu, kehidupan masyarakat dewasa ini telah maju pesat dalam segala aspek kehidupan. Baik sosial, ekonomi, budaya dan politik. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, ada tiga tingkatan Ijtihad. Yaitu:
- Dharuriyat, yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup manusia. Bila hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi yang namanya kerusakan, kerusuhan, dan kekacauan.
- Hajjiyat, yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya. Bila hal tersebut tidak terpenuhi, maka manusia selalu dihinggapi perasaan kesempitan dan kesulitan.
- Taksinat, yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri dari atas kebiasaan dan akhlak yang baik.
Ketiga tingkatan ijtihad diatas, disandarkan kepada firman Allah dalam al-Qur’an. Yaitu “rahmat”. Surat an-Nahl ayat 89 dan surat al-Anbiya’: 107.
Dalam perkembangan lebih lanjut, ijtihad menyingkat hukum-hukum syari’at islam. Ijtihad dibidang ini kerap kali menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ahli ijtihad sendiri. Bahkan perbedaan tersebut menyangkut kelompok yang lebih besar dan luas. Hal ini disandarkan pada firman Allah “jikalau tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (QS. Huud: 118).
Perbedaan hal tersebut, merupakan hal yang wajar. Sebab, hal itu merupakan sifat manusia. Adapun perbedaan itu, adalah perbedaan yang tidak membawa kebinasaan dan merugikan masyarakat. Dalam sejarahpun dapat dibuktikan bahwa sering terjadi adanya perbedaan hasil ijtihad, baik di kalangan para sahabat di masa nabi, maupun setelah ditinggalnya nabi.
2.4 Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli atu sejumlah mujtahid umat islam setelah masa Rasulullah SAW. Tentang hukum atau ketentuan beberapa masalah yang berkaitan dengan syari’at atau suatu hal. Ijma’ merupakan salah satu upaya ijtihad umat islam setelah Qiyas. Menurut Maulana Muhammad Ali, “kata Ijma’” berasal dari kata “jam”, artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna. Yaitu, menyusun dan mengatur suatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, berarti menetapkan atu memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Menurut istilah ulama fikih (fuqaha’), ijma’ berarti: kesepakatan pendapat diantara para mujtahid, atau persetujuan pendapat antara ulama fikih dari abad tertentu mengenai masalah hukum.
Menurut Ibnu Rusyd, ulama-ulama islam membagi ijma’ menjadi dua macam dalam soal-soal amalan lahir, yaitu hukum-hukum fikih dan bidang aqidah. Mereka menetapkan bahwa ijma’ dalam soal-soal aqidah tidak mungkin terjadi dengan jalan yang yakin, tetapi mungkin terjadi dalam soal-soal amalan.
Apabila dikaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka ijma’ terbagi menjadi 2 macam. Yaitu:
- Ijma’ shoreh (jelas atau nyata)
- Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas)
Adapun yang dimaksud dengan ijma’ shoreh, yaitu: apabila di dalam ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas. Sedangkan ijma’ sukuti, yaitu: apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah mujtahid mengemukakan pendapat atau pemikirannya secara jelas, sedangkan sebagian yang lain hanya diam. Tidak mengemukakan pendapatnya secara jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hak, maka ijma’ dapat digolongkan menjadi dua golongan. Yaitu:
- Ijma’ Dath’i
- Ijma’ Dzanni
Adapun yang digolongkan Ijma’ Qath’i, yaitu: apabila ijma’ tersebut telah memiliki kepastian hukum (tentang suatu hal). Adapun ijma’ Dzanni, adalah ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak pasti, atau sesuatu yang bersifat Dzanni.
2.5 Qiyas
Seorang ulama yang mampu menetapkan hukum dengan cara berijtihad, maka disebut mujtihad. Apabila seseorang menetapkan hukum dengan cara berijtihad dengan mengambil dari kandungan nash, hasil ijtihad tersebut biasanya disebut dengan Qiyas atau ra’yu. Yang dimaksud dengan Qiyas ialah: menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang ada hukumnya dalam nash, karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam ‘illat hukumnya.
Tinjauan qiyas secara kefilsafatan yang menurut Ibnu Rusdy, fungsi filsafat tidak lebih dari mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan yang menemukan zat yang membuatnya. Di dalam al-Qur’an dijelaskan dalam surat al-A’raf : 184.
Pengambilan Qiyas Aqli diwajibkan oleh syar’i. Maka seorang ahli fikir harus mempelajari logika dan filsafat. Di samping itu, para filosof-filosof islam juga sepakat bahwa akal dan wahyu kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan, dan akal tersebut untuk mencapai kebenaran nash-nash yang menurut lahirnya berlawanan dengan filsafat.
Pembagian golongan pemakai Qiyas. Ada 3 golongan:
- Qiyas burhani, adalah Qiyas yang terdiri dari dasar-dasar pikiran. Yang yakin dan berpijak pada hukum-hukum aksioma. Oleh karena itu, Qiyas tersebut mempunyai kesimpulan yang meyakinkan. Dan itulah Qiyas yang sebenarnya dan lazim dipakai dalam pemikiran dunia filsafat.
- Qiyas Jadali, adalah terdiri atas dasar-dasar pikiran yang berbeda dalam daerah kemungkinan, yang diterima oleh semua orang atau semua filosof. Dan kesimpulannya kemungkinan juga masih berada dalam daerah kemungkinan pula.
- Qiyas Khatabi, adalah qiyas yang di dasarkan atas pikiran-pikiran dasar yang lemah dan yang hanay sesuai untuk pikiran si pendengar dan keadaan jiwanya.
Golongan pemakai Qiyas Burhani inilah para filosof yang memilki dalil-dalil yang kuat. Sedangkan golongan pemakai Qiyas Jadali adalah ulama-ulama theology islam yang hanya sampai menguranginya. Dan golongan Qiyas Khatabi adalah manusia yang kecerdasan otak dan fithrahnya yang kurang sempurna.
2.6 Takwil
Di dalam hukum islam yang dimaksud dengan “takwil” adalah memindahkan suatu perkataan dari maksud yang jelas kepada yang tidak jelas. Karena ada suatu dalil yang menyebabkan maksud yang tidak jelas itu harus digunakan. Sedangkan perkataan yang ditakwilkan disebut muawwal atau yang di takwil.
Syarat takwil adalah harus berdasarkan dalil syara’ dalam aneka bentuknya. Baik dalam nash, qiyas, syari’at dan asas-asasnya yang umum. Apabila terjadi dalil itu berupa qiyas, maka qiyas itu harus jelas serta takwilannya harus sesuai dengan pemakaian bahasa dan kebiasaan syari’at. Dalam hal ini, dapat dilihat adanya dua contoh: yaitu, yang terdapat dalam surat Thaha, 20:5 dan alfatihah ayat 10.
2.7 Dalil
Pada dasarnya, yang dimaksud dengan dalil adalah sesuatu yang dapat menunjukkan baiuk terhadap hal-hal yang tampak maupun kurang tampak. Pengertian dalam kalangan ulama ushul fikih, kata dalil diartikan sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang saleh.
Menurut Asy. Syatibi, suatu dalil syara’ memilki beberapa prinsip. Yaitu:
- Dalil syara’ tidak beretentangan dengan tuntutan akal
- Tujuan pembentukan dalil adalah penempatan perbuatan manusia mukallaf dalam perhitungan
- Setiap dalil bersifat kulli
- Dalil syara’ terbagi pada Qath’i dan Zhanni
- Dalil syara’ terdiri dari dalil Aqli dan Naqli
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas tentang Ijtihad, maka kita pun memahami. Bahwa dalam ijtihad itu sendiri memilki beberapa persyaratan ilmiyah yang harus dimiliki oleh para mujtahidnya. Yaitu:
- Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum
- Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist nabi SAW. Yang berhubungan dengan masalah-masalah hukum
- Memiliki pengetahuan yang luas tentang Qiyas. Dan dapat digunakan untuk Ijtihad hukum serta mengetahui ilmu logika
- Menguasai bahasa arab secara mendalam
- Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang nasikh mansukh dalam al-Qur’an dan Hadist
- Mengetahui latar belakang (asbabun nuzul) turunnya ayat dan hadist
- Mengetahui sejarah para perawi hadist
- Mengetahui kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh)
3.2 SARAN
Mengklarifikasi dari apa yang telah dikupas habis diatas tentang Ijtihad dalam islam, maka patut dan harus kita ketahui bahwa seorang mujtahid harus memiliki bakat berijtihad. Dan bakat atau kemampuan tersebut dapat melalui serangkaian praktek pemberian keputusan fiqih serta melakukan berbagai macam kajian terhadap beragam pendapat yang berkembang. Perlu kita ketahui, bahwa para ahli pun sepakat bahwa “siapa yang tidak memahami pendapat-pendapat ulama, tidak akan dapat merasakan makna fiqih yang sesungguhnya. Karena hal tersebutlah, maka sangat di harapkan kepada kita, sebagai umat islam hususnya. Benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan ijtihad atau serangkaian yang ada di dalamnya. Agar kita pun tidak menerima secara mentah akan apa yang kita terima atau kita pelajari dari ulama-ulama kita. Sehingga tidak akan terjadi yang namanya taqlid dalam menjalankan perintah agama kita, islam.
DAFTAR PUSTAKA
Majmu’ Fatawi Syaikh al-islam ibnu Taimiyah, attasawwuf, jilid II, hal: 18.
Hudari Bek, ushul fiqh, hal: 367.
Al-muslim wa-al ‘Ashr, al-araby, Januari 1987, hal: 56.
Direktorat pembinaan badan penelitian agama islam, departemen agama al-mahkamah, hal: 110
Al-ijtihad fia al syari’at al-islamiyyah
Abdul Wahhab Khalifah, ilmu ushul fiqh, hal: 86-87. cet. IX. Kairo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar