“Alam sungguh menakjubkan, namun seringkali kita merasa biasa-biasa saja dengan segala ke-luarbiasannya. Padahal begitu banyak hikmah yang dapat kita petik dari semua itu andai saja kita mau berpikir”. Bahasa yang mampu membuat saya berkeinginan untuk bangun, untuk lebih memahami dan ingin kembali mengintropseksi diri, khususnya sebagai pemuda yang saat ini sering kali diikut sertakan dalam tatanan banjir moderenisasi kehidupan. Dan kebetulan saya pikir bahasa itu juga ada kaitannya dengan judul majalah yang beberapa hari lalu telah dihidangkan oleh para sahabat Inspirasi untuk saya coba menulisnya.
Berbicara tentang kaula muda? Saya pikir memang sudah saatnya menggubris masalah itu, tapi sebelum melenceng jauh, marilah kita bersama lihat dengan seksamanya penglihatan kita melalui kacamata khusus yang itu kita arahkan pada diri kita dulu. Ya, kita sebagai pemuda yang kini tak mampu memungkiri bahwa tak jarang kita selalu ikut berperan dalam modernisasi hidup ini. Termasuk karakter didalamnya adalah sikap populer kita, “GENGSI”. Mari kita sambungkan pikiran kita pada real kehidupan yang memang sering kita lakoni. Kebiasaan sekarang adalah menjadikan pribadi kita perfect dimata banyak orang. Bukankah begitu? Hal itu sudah tidak menjadi rahasia setiap individu, tapi setiap khalayak mayoritas sudah memilki pikiran yang sama. Ingin terlihat cantik, pintar, cakep, tajir bahkan ingin rasanya diakui sebagai anak pengusaha dan penguasa yang lainnya. Dan karena hal tersebut, ada banyak sikap negativ yang timbul. Termasuk disitu adalah sikap gengsi diri untuk mengakui siapa dirinya yang benar, bahkan tak jarang hanya karena ingin terpandang hebat seseorang itu malu mengakui bahwa ibu yang membawa sebungkus nasi itu adalah ibunya, bapak yang menjadi tukang becak itu ayahnya bahkan seorang sopir itu adalah kakak kandungnya. Sangat jelas hal tersebut merupakan suatu kesalahan yang sangat fatal. Dia pikir, dari mana dia datang kalau bukan dari arah mereka? Tak jarang pula terkadang seseorang itu rela kehilangan barangnya, contoh konkritnya adalah baju. Dimana baju tersebut jatuh ketanah yang basah, karena malu dilihat temannya, dia malah berpaling. Memilih untuk tidak mengambil baju itu. Dan merelakan barang yang sudah ia punya terbuang karena ulahnya. Lalu mari kita pertanyakan, dimana otaknya? Mengapa ia tidak berpikir panjang untuk melakukan hal yang merugikan itu? Sepotong kain yang dibuat baju adalah hasil dari pertukaran uang dan barang itu. Uang itu kita dapatkan dari orang tua kita. Orang tua kita bekerja seharian hanya untuk membelanjai kita, termasuk membelikan sepotong kain yang akan dijahit menjadi sebuah baju, untuk menyamakan kita dengan kawan yang lain. Menutupi aurat kita. Nyatanya apa yang terjadi? Sang anak hanya mampu bergaya, tak pernah mau berpikir dari mana asal kita, dan dengan cara yang bagaimana kita mampu bergaya. Yang dia bisa hanya bermimpi untuk menjadi orang sempurna dengan tak ada sedikitpun cacat yang ada padanya ataupun yang akan timbul dari sekitarnya. Sayangnya, caranya ingin mencapai sempurna untuk dirinya itu salah. “bareng sama bapak ke pasar, sudah nggak zaman! Apalagi kalo’ entar pas ketemu dengan teman-teman....” itu yang sudah lumrah dilakukan para pemuda sekarang, seakan sudah tak mau lagi berdampingan dengan orang tuanya. Padahal, sampai kapanpun ia akan tetap membutuhkan orang tuanya. Sekali lagi, hal tersebut karena kurang mampunya para pemuda menggunakan akal sehatnya dengan baik.
Seperti apa yang telah dikatakan oleh Sholihkin Abu Izzuddin “Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebuah kebiasaan”. Ketika kita bercermin pada bahasa bijak itu, maka kita tidak akan pernah terpandang benar. Apalagi kita khususnya sebagai kaula muda, Yang sering kali berbuat sesuatu yang sangat merugikan. Jika keunggulan dan keberhasilan kita tergantung pada sebuah kebiasaan, maka apa yang akan terjadi jika kebiasaan kita hanyalah mimpi belaka? Kenapa dikatakan mimpi? Karena kita hanya selalu mengaku menjadi orang lain. Kita tidak pernah mengakui apa dan siapa diri kita sebenarnya. Kita tidak dapat memahami apa dan bagaimana cara yang tepat untuk menjalani serta mengimbangi diri kita dengan perkembangan zaman yang sudah bergerak semakin cepat ini. Serta apa yang selama ini terlihat jelas pada diri kita adalah sikap gengsi kita yang seakan menguasai segala aktivitas yang kita lakukan. Maka sesungguhnya sangat tak ada harapan cemerlang untuk masa depan kita. Karena apa yang ternyata kita harap dan kita lakukan dulu karena sikap itu, semuanya kembali pada semulanya. Yang ada hanyalah dirinya dan kehidupannya yang asli. Dirinya dan hidupnya yang selama ini tidak pernah mau dia akui.
Jadi marilah para pemuda, kembalilah kita untuk memaknai diri kita sendiri, menerima apa yang memang ada dan tercipta dari diri kita ini. Belajar penjadi manusia yang selalu tak henti bersyukur pada yang maha punya segalanya. Karena sesungguhnya, takkan pernah ada hikmah yang terpetik dari sikap sombong kita, ya, sikap sombong yang pastinya berawal dari sikap gengsi kita. Pula takkan ada yang lebih indah dari pada kita mengakui siapa diri kita. Bahkan jika kita mampu mengakui siapa diri kita dan mampu memperkenalkan diri kita pada khalayak ramai dengan sejujurnya, tanpa adanya bumbu sikap gengsi diri atau bahkan mengakui sesuatu yang tak pernah kita punya, maka disitu kita akan terpandang hebat. Ingatlah satu hal, bahwa seorang pemuda sejati adalah seseorang yang mampu memperkenalkan dirinya dengan kejujuran dalam dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar