Selasa, 31 Juli 2012

Ijazah di atas Nisanmu (Naskah Drama)


Assalamualaikum…
Selamat malam untuk kalian, di musim yang dingin…
Masih di perhitungan musim penghujan. Madura tetap dalam kebasahan kisah yang di lakonkan manusia. Tepat diatas bumi yang aromanya masih sangat sedap untuk dinikmati. Tak jauh pula, kaca jendela yang berembun membuat tangan kita mampu melukis wajah-wajah yang menghegemoni alam pikir kita. Angkat telunjuk, lalu taruhlah diatas kaca, dan… lukislah dengan nada-nada hati sesuai lekukan embun akan berlari kemana.
            Seperti inilah hidup, ada yang harus melukis, dan yang dilukis, harus ada yang memulai atau menunggu dimulai. Ada yang melakoni atau yang menjadi objek pelakonan. Begitu permainan pementasan panggung sandiwara di dunia Tuhan yang maha luas ini.
            Maka, seiring dengan gerakan kaki dan lirikan mata…
Izinkan, malam ini kami melukiskan sepotong dari lakon manusia di dunia ini  dengan judul “Kutitip Ijazah Di Atas Nisanmu?
Dengan sebuah Prolog:
Ibu, pejuang yang tak mampu untuk dilupakan
Ibu, pejuang yang tak pernah mau kalah pada luka, panas bahkan darah
Ibu… adalah seseorang yang mampu memperkenalkanku pada dunia, ilmu dan manusia
Ibu… segala-galanya.
Aku bahagia memiliki ibu, meski… ayah pergi, harta tak ada dan hidup sengsara.
Kita sadari, Perjalanan hidup tak semudah bayangan yang sering kita rangakai saat melamun. Keindahan hidup pun tak segampang meraih buah mangga dari pohonnya. Segalanya harus dibayar dengan peluh, tenaga dan nyawa. Segalanya butuh diperjuangkan. Maka tak ayal, bila harus ada yang menangis, terluka atau bahakan mati karena hidupnya sendiri.
Beginilah kejamnya dunia yang tak mampu menyeragamkan langkah dengan kita rakyat jelata. Dunia para orang-orang yang munafik dengan janji-janji, yang lupa pada harga diri. Maka nyaris… yang miskin, yang lemah dan yang tidak memiliki apa-apa yang menjadi korban tak terbaca atau yang akan mati tanpa nama.
Dengan para pemain:
ü  Annisa, gadis cerdas, baik dan patuh pada ibu, Satu-satunya keluarga yang ia punya. Membuat ia selalu berusaha menjadi anak yang baik, dan membuat ibunya bangga dengan apa yang akan dia raih. Sehingga tak ayal bila ia sangat giat dan bersungguh-sungguh dalam segala usahanya. Gadis yang sangat setia pada proses hidupnya.
Annisa diperankan oleh: ……………………….
ü  Ibu Fathia, perempuan yang sangat lembut dan pengasih, membuat Annisa sebagai anaknya sangat mencintainya. Dengan kesederhanaan hidupnya, membuat Fathia tak pernah merasa susah dan pesimis untuk tetap melangsungkan kehidupannya dengan anaknya, Annisa. Ikatan cinta yang kuat antara mereka pun mampu merubah rasa pahitnya nasi gosong menjadi sangat lezat dan sedap di sajikan dan di makan. Begitulah putaran hidup mereka berdua.
Ibu Fathia diperankan oleh: ……………………….
ü  Bapak Sasongko, lelaki yang bijak, dan bermasyarakat ini merupakan kepala sekolah SMP yang Annisa tempati. Dengan sikapnya yang perhatian pada setiap anak didiknya membuat ia menjadi orang yang paling disegani dan di hormati di sekolah itu.
Bapak Sasongko diperankan oleh: …………………
ü  Ariyan, lelaki perhatian, dermawan dan pandai ini merupakan keturunan para pengusahawan. Kaya raya. Sikapnya yang tidak pernah sombong membuat Annisa tidak perlu banyak pikir untuk menjadikan ia sebagai teman.
Ariyan diperankan oleh: ……………………..
ü  Dista, sahabat bermain, curhat dan sekaligus sahabat sebangku Annisa. Sifat pengertiannya membuat Annisa selalu tak ragu untuk berbicara dan bercerita banyak hal padanya. Termasuk tentang keadaan keluarganya.
Dista diperankan oleh: ……………………….
ü  Adis, gadis centil, cerewet dan sombong. Putri bangsawan, yang memiliki banyak hal. Tapi dengan sikapnya yang apatis pada sesamanya membuat ia hanya memiliki segelintir teman.
Adis diperankan oleh: ………………………
Pemain pendukung:
                                    Sebagai bapak Fardi, selaku ayah Ariyan
                                    Sebagai Ferry, teman Annisa
                                    Sebagai Zakia, teman Adis
                                    Sebagai Debby, teman Adis
Inilah para pelakon panggung sandiwara hidup yang terkadang timpang atau tumbang dalam menghadapi hidup mereka yang tak pernah berhenti untuk sekedar diam.
Adegan I
Setelah kecelakaan tabrak lari itu, kaki ibu Fathia seringkali terasa sakit. Sekarang pun ia sudah tidak lagi kuat untuk jualan sayuran. Sebab kakinya lekas nyeri dan sakit. Tubuhnya yang juga semakin tua membuat ia harus selalu menyibukkan dirinya dengan istirahat.
Suatu malam di rumah tua itu:
Annisa : ibu, izinkan Annisa yang jualan bu. Annisa tak mau sakit ibu makin parah. (duduk disamping ibunya)
Ibu       : nak, kamu harus konsentrasi belajar. Tidak boleh memikirkan soal pekerjaan. Itu tanggungjawab ibu nak. (sambil berbaring diatas kasur)
Annisa : tapi bu, Annisa bisa kok membagi waktu belajar Annisa dan waktu kerja. Dari jam 7-12 siang Annisa sekolah bu. Ntar dari jam 2-5 sore Annisa mau jualan sayuran keliling bu. Malamnya Annisa di rumah untuk menyiapkan makan untuk ibu dan belajar untuk besok pagi. Gampang kan bu?
Ibu       : tapi nak, kamu pasti kelelahan nanti. Bisa berdampak negative lo sama sekolahmu.
Annisa : ndak bu. Annisa bisa jaga kebugaran tubuh Annisa kok. Percaya deh bu. Annisa pasti mampu ngelakuin ini semuanya. (sambil mengelus rambut ibu dan tersenyum+ ibu nya pun memeluk Annisa sambil menangis)
Ibu       : nak, maafin ibu ya. Ibu masih belum bisa membuatmu hidup nyaman seperti teman-temanmu lainnya. Ibu masih tak bisa memberimu makanan-makanan yang lezat dan minuman yang serba manis. (tetap memeluk+menangis)
Annisa : bu, Annisa percaya, Allah akan selalu membantu kita. Allah tak akan membiarkan kita mati karena lapar, haus dan miskin. Bu, Annisa sudah sangat bahagia kok bersama ibu. Hidup itu tidak harus bermewah-mewah kan bu? (tersenyum sambil melepaskan pelukan ibunya)
Ibu       : terimakasih ya nak, ibu bangga memilki putri secantik dan sebaik kamu.
Annisa : udah malam bu, sebaiknya ibu tidur saja ya. Annisa ke kamar Annisa mau ngerjain PR untuk besok bu. Annisa pamit, tidur yang nyenyak bu. (sambil memberi selimut pada ibu lalu mencium tangan kanan ibunya dan pergi)
Adegan II
SMP Naga Sakti, adalah sekolah menengah pertama yang masih terjangkau untuk ditempati sebagai medan belajar dan berjuang oleh rakyat kelas bawah. Termasuk Annisa dan sebagian teman-temannya. Sekolah yang lumayan mampu untuk menjadi tempat bernaung dari panas, hujan dan pastinya badai. Sebab, bangunan sekolah ini hanya sebatas sederhana. Tidak seperti bangunan sekolah yang lain. Mewah, berwarna bahkan terdapat lukisan-lukisan menarik di depan sekolahnya.
Pagi hari, tepat pukul 09.30 Wib
Ferry    : Nisa, kamu disuruh ngadap kepala sekolah. Tadi pak Sasongko menyuruhku agar kamu datang ke kantornya, saat ini juga.
Annisa : (dengan wajah terkejut bercampur cemas), ada apa ya Fer? Tumben aja bapak memanggilku.
Ferry    : yaudah, sebaiknya kamu cepat datang ke kantornya. Biar kamu tahu apa yang sebenarnya menjadi masalahmu.
Annisa : oke Fer. Makasih yaa.. (sambil melangkahkan kakinya keluar)
Ariyan : (tiba-tiba menghampiri Ferry) Fer, ada masalah apa dengan Annisa kok sampai dipanggil kepala sekolah, pastinya kamu tau kan?
Ferry    : hm,.. iya aku tau Yan. Tapi aku tidak berani ngomong ke Annisa, tidak tega.
Ariyan : memangnya ada apaan?
Ferry    : Annisa terancam tidak bisa ikut UAN. Soalnya 2 kali SPP dan uang buku paketnya belum dibayar. Dan itu baru diketahui bapak kepala sekolah. Sebab baru dikasih tau kemarin oleh pihak administrasi.
Ariyan : (menepuk kepalanya). Haah… kenapa Annisa tidak pernah bilang hal itu pada kita ya? Kan setidaknya kita bisa sama-sama tanggung masalah ini. Yaudah, aku mau nunggin Annisa di depan kantor ya… (pergi)
Di depan kantor Kepala sekolah:
(Ariyan mendengarkan percakapan pak kepala sekolah dengan Annisa)
Annisa : selamat pagi pak.
Kepsek            : duduk dulu Annisa. Ada yang harus bapak bicarakan langsung denganmu
Annisa : baik pak. Ada apa?
Kepsek            : Annisa, ibumu kemana? Sehingga spp mu tidak bisa terbayar sampai 2 kali?
Annisa : ibu sakit pak. Jadi dia sudah Annisa larang untuk kerja lagi. Tapi Annisa udah ganti kerjaan dia pak. Jadi Annisa mohon, bapak kasih Annisa waktu 1 bulan lagi untuk bayar SPP ini pak. Insyaallah Annisa bisa melunasinya pak. Annisa tetap ingin ikut UAN pak.
Kepsek            : tapi Annisa…
Annisa : ayolah pak. Hanya 1 bulan. Annisa akan usahakan untuk melunasinya pak. Annisa benar-benar masih sangat butuh uang untuk ibu berobat pak. Dan selama ini, biaya obat ibu Annisa gunakan uang pemberian ayah teman Annisa pak.
kepsek : baiklah Annisa. Bapak akan tunggu 1 bulan lagi. Maaf ya Annisa, bapak tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Soalnya ini sudah peraturan sekolah. Yasudah, sekarang kamu kembali ke kelasmu. Tetap belajar yang rajin.
Annisa : baik pak. Terimakasih sudah member Annisa kesempatan pak. Annisa pamit dulu, assalamualaikum pak.
Kepsek            : waalaikum salam…
(Annisa keluar kantor kepala sekolah. Bertemu Ariyan)
Ariyan : kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu butuh uang untuk spp mu An…
Annisa : tidak Yan. Aku tak mau merepotkan keluargamu lagi. Sudah cukup kalian membantu keluargaku. Biaya obat ibu juga dari ayahmu. Jadi biarlah untuk spp ku aku usahakan sendiri Yan.
Ariyan : tapi kan ini sangat penting untu masadepan kamu An, kalau tidak cepat kau lunasi bisa-bisa kamu tidak ikut ujian kan?
Annisa : (tersenyum), percayalah Yan, aku pasti bisa dapatkan uang untuk spp ku. Doakan aku ya. Yaudah, aku langsung ke kelas saja.
Ariyan : Annisa, jangan sungkan-sungkan untuk cerita padaku kalau lagi butuh apa-apa. (ucap Ariyan dari belakang tubuh Annisa yang sudah berbalik badan dari hadapannya)
Annisa : (menoleh). Iya sahabatku. Terimakasih. (pergi)
Adegan III
Sore itu terlihat mendung. Debu berkeliaran disepanjang trotoar kota. Seiring mengikuti langkah kaki Annisa yang sedang berjualan sayur diatas kepala mungilnya.
Pukul 15.45 wib di sepanjang jalan pasar daerah itu.
Annisa : sayur-sayur segar bu. Ayo murah-murah bu. (sambil berjalan. Sayurannya di atas kepalanya dengan wadah. Lalu duduk di pinggir jalan. Jualannya diletakkan di depannya)
(banyak orang yang lewat di depannya)
Annisa : sayur bu. Masih segar-segar. Seribuan kok bu…. (memanggil-manggil pembeli)
(tiba-tiba Adis, Debby dan Zakia lewat dijalan itu).
Adis    : what? Aku nggak salah lihat ya? (sambil kipas2 wajahnya)
Debby : mimpi apa aku semalam neh. Kok ada penjual sayur yang cantik banget…. Hahahaha… (mereka tertawa)
Adis    : kasian anak ini. (sambil menyentuk kepala Annisa). Nasib orang miskin!(sayurannya dan jualannya di buang oleh Adis)
Annisa : Astaghfirullah Adis! (Annisa sambil milih jualannya yang berantakan)
Zakia   : duuh… kasihan banget deeh. Nggak ada yang bantuin. Makanya, jangan sok juara deh! Miskin aja belagu! Sok pintar!!! (sambil menginjak tangan Annisa yang lagi milih jualannya)
Annisa : auu… sakit Za. Ya Allah, apa sih mau kalian? Kenapa kalian selalu mengganggu aku? Apa salahku? (sambil nangis)
Adis    : eh anak edan! Kamu tuh sok tau!
Zakia   : miskin tetap aja miskin. Nggak usah belagu jadi orang pintar deh. Mentang2 semua guru simpati. Jadi manja!!!
Annisa : aku tidak pernah manja Za. Aku hanya berusaha jadi orang yang pandai, berprestasi, jadi kebanggan orang tua dan guru. Apa itu salah?
Debby : masih ngejawab lagi! (mendorong Annisa sampai jatuh)
(tiba-tiba ibu Fathia datang. Berlari ketika lihat Annisa didorong sampai jatuh)
Ibu       : apa-apaan ini! (melihat kearah adis dkk) Annisa, kamu tidak apa-apa nak? (membantu Annisa untuk bangun).
Annisa : kenapa ibu ada disini?
Ibu       : kalian mau apakan anakku?
Adis    : orang miskin lagi ngamuk…… kabur!!!!! (mereka bertiga lari)
Ibu       : maafin ibu nak. Gara-gara ibu, kamu jadi begini nak. (memeluk Annisa). Nak, sudahlah, jangan jualan lagi. Mulai besok, ibu yang akan jualan. Ibu sudah kuat.
Annisa : (melepas pelukan ibu). Kenapa ibu bisa sampai di sini bu?
Ibu       : ibu tadi berusaha jalan nak. Agar terbiasa jalan lagi. Lagian dirumah sumpek nak. Yaudah, sekarang kita pulang. Kamu istirahat saja. (sambil milih sayur-sayurnya). Ayok pulang. (pergi dan membawa jualannya)
Adegan IV
Malam itu gerimis. Terlihat rumah mewah di sudut jalan Mawar. Rumah berlampu bak Kristal serta berjendela dengan kaca mengkilau. Itulah rumah Ariyan bersama ayahnya. Keluarga yang harmonis dan bersahaja.
Suatu malam di ruang santai
Ariyan : ayah, boleh nggak Ariyan minta bantuan ayah lagi?
Ayah   : ada apa sayang? (sambil membaca majalah)
Ariyan : ayah, Ariyan mau minta uang pada ayah. 500 ribu.
Ayah   : buat apa Yan? Memangnya apa yang ingin kamu beli?
Ariyan : ariyan ingin membantu Annisa lagi yah. Dia belom bisa lunasi spp-nya. Ibunya sakit yah. Jadi, Ariyan kasian sama dia. Dia pintar, rajin dan baik lagi. Jadi eman kalau nanti dia nggak boleh ikut ujian akhir hanya karena nggak bisa lunasi sppnya.
Ayah   : kamu ini. (sambil mengelus kepalanya Ariyan) baiklah, akan ayah kasih. Sekalian ntar, kamu bersama ayah ke rumahnya kalau ayah lagi nggak sibuk. Kita silaturrahim sama Annisa dan ibunya.
Ariyan : makasih ayah. Ayah memang paling baik deh. (memeluk ayahnya)
Ayah   : (tersenyum+melepas pelukannya). Bisa aja kamu. Yaudah, sekarang kamu tidur. Besok pagi nggak boleh bangun kesiangan. Biar nggak telat ke sekolahnya. (pergi)
Adegan V
Sore itu kembali membuat langkah kaki Annisa kembali ke trotoar jalanan untuk menjual sayur-sayurnya. Memang sudah dilarang oleh ibunya, tapi dengan tekadnya, Annisa pun berhasil mengambil alih kembali jualan itu dari tangan ibunya.
Di perjalanan itu:
Lelaki  : copet-copet….. (mengejar seorang anak muda yang baru saja mengambil dompetnya)
Annisa : copet……. (dia ikut mengejar copet itu dengan sangat cepat. Jualannya ditaruh di jalanan)
(lelaki yang kecopetan terjatuh. Sedang Annisa tetap berlari mengejar copet itu)
Annisa : copet…. Tunggu! (Annisa pun melemparinya jalanan dengan kelereng2nya. Hingga copet itu jatuh terpleset. Dan dompetnya pun jatuh ke tanah)
Copet  : dasar anak sialan! (berlari tanpa mengambil dompetnya yang jatuh)
Annisa : haah…. Dasar copet. (mengambil dompetnya)
Lelaki  : (menghampiri Annisa) makasih ya nak. (Annisa menyerahkan dompetnya). Kamu masih kecil tapi berjiwa penolong. Makasih ya… (bapak mengeluarkan uang dari dompet itu. 500 ribu rupiah). Ini untukmu nak.
Annisa : tidak usah pak. Annisa ikhlas kok. Sebagai manusia kan kita harus saling membantu pak. Jadi simpan saja uang itu untuk kebutuhan bapak saja.
Lelaki  : begitu tulus hatimu nak. Tapi ambillah uang ini. Anggap saja sebagai sedekah dari bapak. Kalau nggak ada kamu, bapak tadi udah kehilangan semuanya.
Annisa : semuanya karena Allah pak. Ini rezeki bapak, jadi nggak mungkin hilang karena dicopet.
Lelaki  : nak, kau sangat shalehah. Semoga Allah selalu memberimu kebahagiaan. Tapi bapak mohon, terimalah uang ini. Anggaplah sedekah bapak dan ini rezekimu. (meletakkannya ditangan Annisa)
Annisa : makasih pak. Semoga bapak akan dapat ganti yang lebih banyak dan barakah.
Lelaki  : amin. Yaudah, bapak lanjutkan perjalanan dulu ya. Kamu hati-hati. Salam untuk orang tuamu nak. (pergi)
Annisa : (menatap uang itu). Terimakasih Allah. Ini pasti kiriman darimu untukku. Terimakasih. Akhirnya aku bisa lunasi spp dan uang buku paketku ke sekolah. (pergi)
Adegan VI
Dengan uang yang Allah kirim lewat lelaki itu, Annisa pun mampu melunasi segala administrasi di sekolahnya. Ia pun merasa sangat bahagia dan kembali bersemangat untuk ikut ujian akhir nasional yang akan dilaksanakan tepat 1 bulan dari sekarang, April nanti.
Pukul 12.00 wib di kelas IX-A
Annisa : Dista, sebentar lagi kita ujian. Setelah itu kita akan dihadapkan pada jenjang pendidikan yang selanjutnya. Yaitu SMA. Dis, aku khawatir tidak mampu melanjutkan sekolahku.
Dista    : Annisa, kamu nggak boleh mikir begitu. Aku yakin, Allah pasti akan kasih rezeki untuk masing-masing hambaNya. Apalagi kamu itu anak yang pintar, berprestasi. Pasti ntar kamu dapat biaya gratis untuk melanjutkan sekolahmu.
Annisa : tapi Dis, aku juga harus mikir biaya untuk ibu. Sakitnya semakin parah. Kakinya sudah tidak dapat berfungsi lagi. Makan pun aku yang harus menyuapinya. Aku udah nggak punya apa-apa Dis.
Dista    : Annisa, sejak kapan kau menjadi orang yang lemah kayak gini? Biasanya kamu yang selalu ceria, yakin bahkan kamu yang seringkali member kami motivasi. Sudahlah, kamu jangan pikirkan itu dulu. Sekarang, kita focus belajar untuk UAN kita. Oke…
Annisa : hm… okelah.
Dista    : senyum dong…. Itu baru Annisa sahabatku.
Annisa : kamu Dis. Makasih ya, masih mau dengarkan curhatku.
Dista    : tenang deh. Sampai kapanpun, aku bakal selalu dengerin kamu kok.
Annisa : yaudah Dis, aku pulang duluan ya. Aku harus jualan lagi. Sampai jumpa besok. Assalamualaikum…
Dista    : waalaikum salam. Hati-hati An…


Adegan VII
Sore itu hujan sangat deras. Guntur pun menjadi irama yang sangat dahsyat di setiap telinga para manusia. Suasana yang sangat dingin membuat bulu-bulu kulit terbangun, hidungpun seakan tersumbat karena flu atau tubuh pun kaku untuk digerakkan.
            Sore itu, harus ada yang kembali merintih sakit. Ibu Fathia kembali merasakan sakitnya. Seruan sakitnya pun membuat Annisa bingung harus bagaimana. Sedang obat sakitnya sudah habis. Tak mungkin ia membelinya, sebab uangnya pun sudah tidak ada sisa.
Sore itu kembali di rumah tua
Annisa : (ibunya batuk-batuk yang keras, tubuhnya menggigi). Minum air ini bu. (annisa menyodorkan segelas air putih).
Ibu       : (mencoba minum, tapi sayang… dimuntahkan)
Annisa : ibu…. Kenapa bu? (Annisa bingung).
Ibu       : sakit nak… sakit. Tubuh ibu sakit semua. (sambil batuk)
Annisa : (menangis). Ya Allah, Annisa mohon, sembuhkan ibu. Annisa tidak punya uang untuk beli obat, Annisa mohon Allah, redakan batuk ibu. Hangatkan badan ibu. Annisa tak mau ibu kenapa-napa.
(tiba-tiba Ariyan dan ayahnya mengetok pintu)
Ariyan : Annisa, ini aku. Ariyan. Buka pintunya. (Annisa pun buka pintu rumahnya)
Annisa : Ariyan, Om… (mencium tangan ayah Ariyan)
Ariyan : ibumu sakit lagi An?
Annisa : iya Yan. Dari tadi aku bingung mau ngapain. Obatnya sudah habis.
Ariyan : ayo kita ke ibumu. (mendekat kea rah ibu Annisa yang berbaring).
Ayah   : nak, kenapa kamu tidak tebus obat untu ibumu?
Annisa : kami sudah tidak punya uangom. Kemarin sudah Annisa habiskan untuk bayar uang spp di sekolah.
Ayah   ; kenapa kamu tidak bilang pada kami nak?
Annisa : Annisa malu om. Om dan Ariyan sudah cukup membantu kami sejak dulu.
Ayah   : yaudah, sekarang om tebus obatnya.
Ariyan : ayah, aku ikut ayah.
Ayah   : kamu temani Annisa di sini. Kasian dia biar nggak sendiri.
Ariyan : iya ayah. Hati-hati.
Annisa : minum airnya dulu ya bu…
Ibu       : (minum sedikit, lalu berbaring lagi. Dia sudah tak kuat untuk bicara).
Ariyan : An, kenapa kamu membiarkan ibumu berbaring di sini? Kamu tidak mau bawa dia ke rumah sakit tah?
Annisa : aku tidak ada uang Yan. Biarlah, aku masih bisa kok jagain ibu dirumah. Merawatnya sendiri.
Ariyan : bukan begitu. Yah, siapa tahu dengan ibumu di rumah sakit dia akan mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Kami kan bisa bantu kalau hanya soal biaya An…
Annisa : sudahlah Yan. Keluargamu juga memiliki kebutuhan, jadi biarkanlah aku usahakan hal ini sendiri. Aku pasti bisa kok.
Ariyan : hm… kamu keras kepala An. Padahal, kami tidak mungkin ngerasa direpotkan atau terbebani. Tapi yaudahlah, moga aja Allah selalu memberimu kekuatan.
Ibu       : An, i…bu mau mi…num…. (ucapnya terbata-bata)
Annisa : iya bu.. (sambil menyodorkan segelas air putih, lalu meminumkan pada ibunya)
Ibu       : nak Riyan, terimakasih ya nak…
Ariyan : (mencium tangan kanan ibu Annisa), iya bu. Ariyan juga berterimakasih sama ibu.
Ibu       : ibu istirahat dulu ya nak.. (kembali membalikkan tubuhnya)
(tiba-tiba ayah Ariyan datang membawa obat-obat ibu Annisa)
Ariyan : ayah….
Annisa : udah datang om…
Ayah   : (menyodorkan obatnya), cepat minumkan pada ibumu. Biar lebih sehat tubuhnya. Sakitnya hilang.
Annisa : iya om. (meminumkan obatnya pada ibunya). Ayo bu. Minum dulu, nanti tidur. (ibu minum obatnya)
Ayah   : nak Annisa, Ariyan sama om pamit dulu ya. Soalnya ntar lagi om ada janji sama teman om. Kamu jaga ibumu baik-baik. Kalau ada apa-apa, jangan malu-malu, hubungi kami ya.
Annisa : iya om. Terimakasih om atas bantuannya. Terimakasi Yan.
Ayah   : yaudah, assalamualaikum…
Annisa : waalaikum salam om.
Ariyan : daaa… Annisa. (lambaikan tangan)
Annisa : daaaa…. Juga. (lambaikan tangan)
Adegan VIII
Malam itu, serasa air mata yang membanjiri segalanya. Ada paduan tangis dua insan, di rumah tua itu:
Annisa : ibu, ayolah bu makan. Annisa suapin kok. (menyodorkan nasi di sendoknya ke mulut ibu)
Ibu       : eeee…e…. (geleng-geleng)
Annisa : sudah seharian ibu tidak makan bu. Nanti sakit ibu makin parah
Ibu       : An, ibu minta maaf ya… ibu tidak bisa ngapa-ngapain. Ibu merepotkan kamu nak. Padahal kamu harus sekolah dengan fokus. Sebentar lagi kamu ujian nak. Kamu harus lulus agar kamu bisa lanjutkan SMAmu. Nanti kalo kamu jadi juara 1 di kelasmu kamu pasti dapat beasiswa untuk SMAmu. Ibu ingin sekali melihatmu berseragam putih abu-abu nak. Kamu pasti lebih cantik, lebih dewasa. (menangis di depan Annisa)
Annisa : sudah bu, jangan pikirkan itu dulu. Terpenting ibu sehat dulu. Nanti soal sekolah gampang. Tidak usah khawatir soal itu. Annisa tidak repot kok bu. Annisa masih bisa hadapin semuanya. Nanti, kalo Annisa sudah lulus, rapot, ijazah dan semua nilai Annisa bakal langsung di kasih ke ibu. Pasti ntar dapat nilai tertinggi dan rangking satu. Annisa selalu yakin, karena ibu. Makanya… ibu harus sehat. Harus selalu disisi Annisa. Agar Annisa tidak sedih.
Ibu       : (menangis) nak, ibu sayang sama Annisa…(sambil memeluk Annisa)
Annisa : Annisa juga sayang sama ibu, jadi ibu harus makan ya. Agar cepat sembuh. Nanti ibu bisa lihat Annisa diatas panggung deh.
Ibu       : (mengangguk+ lalu makan)
Annisa : yaudah, Annisa istirahat dulu ya bu. Ibu tidur yang nyenyak. Besok lusa Annisa ujian bu. Mau belajar dulu. Doakan Annisa. Assalamualaikum…(member selimut ke tubuh ibunya)
Ibu       : waalaikum salam.
Adegan IX
Satu bulan setelah segalanya menguras tenaga pikiran. Yah, ujian akhir nasional akhirnya sudah saatnya untuk diumumkan siapa yang pantas menjadi pemenang atau bahkan siapa yang harus tetap tinggal di SMP Naga Sakti tercinta.
Hari ini, sekolah menengah pertama Naga Sakti ramai:
Ariyan : selamat ya Annisa, aku nyangka, kalau kamu yang bakal jadi terbaik.
Dista    : selamat sahabatku (sambil memeluk Annisa)
Ferry    : hehehe… ayo dong salametan An…biar barakah.
Adis    : he’em… ternyata benar-benar jadi pemenang neh… aku nyerah deh. selamat ya. Dan Maaf ya kalau selama ini aku selalu membuatmu susah dan terganggu. Maafin teman-temanku juga ya… (menajabat tangan Annisa)
Annisa : (tersenyum). Iya Dis. Aku juga.
Adis    : yaudah, aku duluan An, mau belanja… dadaaa…. (keluar)
Annisa : aku pulang. Aku ingin cepat-cepat ngasih rapor dan ijazahku ini sama ibu. Dia pasti bahagia aku dapat rangking 1 lagi.
Ariyan : yaudah, kami ikut ke rumahmu yaa….
Annisa : oke, ayolah… (mereka pergi)

Adegan X
Entah bagaimana takdir berbicara. Setelah tuhan memberi keputusan, maka siapapun manusia tak ada yang dapat menampiknya. Semuanya harus diterima. Sakit, atau bahkan harus terluka untuk selama-lamanya.
Ibu, perempuan yang selama ini menjadi sahabat sekaligus keluarga satu-satu nya bagi Annisa, nyatanya siang ini harus mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya.
Siang itu, di rumah tua yang sudah ramai dengan suara para tetangga:
Ariyan : wah wah… Annisa benar-benar mau salametan kayaknya. Di rumahnya udah banyak orang
Ferry    : pasti banyak kuenya ya An?
Annisa : (terkejut) banyak orang? Di mana? (mendongakkan kepalanya)
Dista    : belagak nggak tau lagi ne anak.
Annisa : aku benar-benar tidak tahu ada apa.
Ariyan : apa jangan-jangan itu…………..
Annisa : (lari, yang lain ikut lari menghampiri kerumunan orang), Ibu…….!!!! (menghampiri tubuh ibu Fathia yang sudah tak bernafas). Ibu bangun bu… ibu kenapa? Bangun bu. Annisa datang bu.
Tetangga         : nak, tadi ibumu berteriak, lalu setelah kami datang kesini, dia sudah tidak bernafas lagi. Tubuhnya tersungkur tak berdaya.
Annisa : ibu, bangun bu. Annisa bawa rapotnya bu. Annisa rangking satu bu. Annisa pasti melanjutkan sekolah Annisa ke SMA bu. Kenapa ibu meninggalkan Annisa? Kenapa ibu tidak melihat rapot dan ijazah Annisa dulu bu? Ibu…. Annisa tidak mau sendirian bu. Bangun… (berteriak,menangis+teman-temannya menghampiri Annisa)
Dista    : An, sabar ya An. (sambil menyentuh pundak Annisa)
Ariyan : An, ini takdir. Ini dari Allah An. Tabahkan hatimu. Aku mengerti perasaanmu.
Ferry    : An, kami bakal selalu ada untukmu. Kami janji.
Annisa : ibu, ayo bu, lihat hasil belajar Annisa bu. Annisa dapat nilai 9 semua bu. Ibu tahu, nilai matematika Annisa dapat 9 bu. Padahal Annisa selalu bilang ke ibu kalau Annisa paling nggak bisa hitungan. Tapi dapat nilai 9 bu. Ayo bu.. tersenyum bu untu Annisa. Annisa berhasil jadi pemenangnya bu. (sambil membuka-buka rapotnya)
Ariyan : An, sudah. Jangan buat dirimu semakin sakit. Ibumu sudah tidak mendengarmu An. Lebih baik kita ngaji bersama-sama. Doakan ibu kamu.
Annisa : kalian tidak ngerti. Aku sendirian. Selama ini aku hanya dengan ibu. Aku hidup dengan dia. Siapa lagi kalau bukan dia, sudah tidak ada. Akau tidak punya siapa-siapa lagi! Kamu punya ayah, keluarga kalian masih lengkap. Aku? Siapa??? Aku masih butuh ibuku…. Bangun bu, jangan tinggalkan Annisa bu. (memeluk ibunya)
Dista    : An, Allah tidak pernah tidur. Allah tidak pernah mati. Kamu juga punya kami. Annisa, ibumu pasti sangat kecewa ketika melihatmu kayak gini.
Ferry    : An… yang kuat.
Tetangga         : nak, sebaiknya kita shalati ibumu ya,..
Annisa : (menangis, mencium wajah ibunya). Annisa bangga punya ibu. Annisa sangat mencintai ibu. Annisa akan berjuang bu. Annisa akan lanjutkan SMA Annisa. Annisa akan membuat ibu bahagia. Annisa pasti jadi anak sukses bu. Jadi orang pintar, baik dan kaya. Annisa janji bu. (mengusap air matanya)
Dista    : yaudah, kita ambil wudlu dulu yuk… (keluar, menggandeng tangan Annisa)
Adegan XI
Semuanya telah berlalu. Segalanya sudah menjadi sejarah. Tawa, canda dan tangis hilang dari rumah tua itu. Kini Annisa hanya sendiri meratapi nasibnya. Dia harus menemui nasibnya dengan usahanya sendiri. Annisa harus kembali melangkah tanpa siapapun disisinya.
Suatu hari, di daerah pemakaman:
Annisa : ibu, Annisa datang untuk ibu. Besok Annisa ujian tes masuk SMA bu. Doakan Annisa bu, agar Annisa lulus. Annisa ingin ibu memberi Annisa semangat. Annisa kangen, biasanya ibu yang selalu membuat Annisa PD, membuat Annisa selalu yakin pada keberhasilan. Ibu yang selalu membuat Annisa sadar, bahwa siapapun berhak menjadi orang berhasil. Meskipun itu orang miskin. Dan kali ini, Annnisa mohon, agar ibu tetap menemani Annisa. Annisa takut bu. (menangis diatas kuburan ibunya). Bu, ini ijazah Annisa. Ibu harus lihat. Ini untuk ibu. Ijazah ini Annisa hadiahkan untuk ibu. Perjuangan ibu selama ini. Ibulah yang membuat Annisa selalu percaya bahwa Annisa mampu meraih prestasi. Dapat nilai tertinggi di sekolah.
(tiba-tiba Dista datang ke kuburan itu)
Dista    : An, kamu yang sabar ya… (menyentuh pundak Annisa)
Annisa : Dista. Aku merindukan ibu. Aku ingin pamit untuk ujian tes besok.aku ingin ibu ada disisiku. Menemani aku belajar, makan dan tidur. (menunduk, nangis)
Dista    : ibumu pasti selalu doakan kamu An. Orang tua itu tak akan pernah lupa pada anak-anaknya, maka dari itu, kita sebagai anak harus selalu mendoakan kedua orang tua kita. Baik semasih hidup atau sudah meninggal dunia. Agar kita jadi anak yang shalehah dan berbakti pada mereka.
Annisa : (tersenyum). Hm… aku sangat tenang mendengarkan kata-katamu Dista. Termakasih ya. Sudah mau ada untukku saat aku harus kehilangan semua orang yang aku cintai. Setidaknya aku tidak merasa sendiri di dunia ini.
Dista    : aku sahabatmu An. Jadi tidak mungkin aku membiarkanmu menanggung beban ini sendirian. Sudah, sekarang lebih baik kita pulang. Shalat, lalu ngaji. Pasti jiwa kita lebih tenang. Dan pastinya ibumu akan tenang melihatmu tidak sedih lagi.
Annisa : iya Dis. (kembali melihat kuburan ibunya). Bu, Annisa pamit yaa… ibu jaga diri baik-baik. Ya Allah, Annisa mohon, ampunilah dosa-dosa ayah ibu Annisa. Bahagiakan mereka di syurgaMu ya Allah. Amin. (doa). Assalamualaikum bu…
Annisa titip ijazah ini di sini, untuk menemani ibu. Juga sebagai janji Annisa. Bahwa Annisa akan memberikan ijazah ini pada ibu. Doakan untuk kelulusan Annisa bu. (Annisa melangkahkan kakinya sambil menatap nisan ibunya yang beriringan dengan ijazahnya)
Dista    : kau tinggal di sana ijazahnya? (menunjuk kearah kuburan ibu Annisa)
Annisa : biarkan ibu menemaniku lewat ijazah itu. Hasil belajarku selama ini. Nilai prestasi itu untuk ibuku Dista. Dia yang membuat aku jadi begini. Selalu bersemangat. Dan berhasil menjadi pemenang, sang juara.
Dista    : hm… kamu An, (menarik tangan Annisa), jangan khawatir, ibumu pasti selalu baik-baik saja. Yaudah, kita pulang sekarang ya. (tersenyum, lalu pergi dari pemakaman).
Ibu, begitulah sejarah mencatatnya. Ibu adalah pahlawan. Ibu adalah jiwa dan ibu adalah nyawa. Begitu besar cinta ibu sehingga mampu membuat siapapun menangis saat harus ditinggalnya pergi. Ibu… semuanya untukmu. Semuanya kupersembahkan padamu.
Kau yang telah memperkenalkanku pada musim hujan dan kemarau
Kau yang memperkenalkanku pada huruf dan abjad-abjad yang dahulu tidak bisa dibaca.
Kau yang mengajariku tentang irama-irama cinta dan usaha, pengorbanan. Terimakasih ibu. Dari detik ini pun, aku, anakmu… akan selalu menjunjung tinggi namamu. Menjadi orang yang mampu kau banggakan. Suatu hari nanti.
            Inilah sepotong lakon,
Dan segalanya telah menjadi sempurna, di malam ini.
Akhirnya, terimakasi telah menemani kami di pendingin musim…
Wassalam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar