Senin, 16 Juli 2012

kisah edisi Ramadlan 2011



Ramadlan Penulis Yang Tak Punya Waktu*
Oleh: Rara Zarary
Seisi laut mendemo keberadaanku
Ombak masih setia, di sini
Aku tak punya pilihan, selain tetap di sini
Membersamai ombak dan ramai demo rerumput dan karang
Karena aku tahu, setelah ini. Aku akan menjadi pemenang atas kebosanan yang tertahan….
Aku takkan beranjak sebelum aku tahu, apa itu damai dan kemiskinan
☼☼☼
Masih denganku, perempuan yang sepi. Perempuan yang masih tak menemukan kunci untuk membuka rahasia hati dibalik jeruji ketersesatan hati. Masih. Terdiam, dan keraguan melangkah. Sampai detik ini, perempuan yang masih sakit atas siksa waktu yang semakin mengancam akan kegagalan atas diamku. Dan segalanya, masihlah aku perempuan yang belajar bertahan dari ombak yang semakin serentak mengusir berdiriku yang setia. Dan kali ini, aku berkisah diatas Ramadlanku.
Ada yang kurasa beda di Ramadlan ini. Hanpa. Tak ada kabar atas datangnya ayah saat menjelang buka. Tak ada lagi yang biasa membawa dua bungkus bubur manis untukku dan ponaanku. Tak ada dia. Sudah jauh yang biasa memberiku uang saku saat aku pergi tadarus ke surau kecilku. Cukup. Semuanya harus diam atas sakit yang kembali meneduh dalam hatiku ini. Lagi-lagi aku harus menangis. Bosan!.Semua seakan diam, aku benar-benar tak mampu menikamati ramadlan seperti kebanyakan teman-teman seperjuanganku. Mereka, yang terus saja mencari jati diri mereka. Menjalajahi kota seberang untuk menuntut ilmu diwaktu kosong ini, berlari ke lintas laut untuk menerjang masadepan mereka. Aku, yang hanya berencana ingin menulis di sini. Tak ingin keluar rumah bahkan dari ruang kerjaku. Terdiam. Aku benar-benar merasa rugi, aku terpeleset dari waktuku. Ingin meloncat, lalu berlari. Takkan mungkin. Dan takkan bisa. Kaki dan tanganku terlampau lumpuh harapan. Waktuku tak dengan menulis. Aku harus menjadi orang tua dalam keluarga ku. Sudah tak ada yang mengerti akan inginku. Bagi mereka, menulisku adalah kerjaan yang tak ada apa-apanya. Menulis yang bagi mereka kerja sampingan. Beranjak aku menulis. Ada panggilan keras terdengar. Akupun harus cepat datang. Jika tidak, aku akan kena’ marah yang dahsyat. Dipaksa aku harus melakukan segala pekerjan rumah. Yah,mungkin ini memang kewajbanku, aku prempuan. Ok. Aku lakukan saja. Selesai. Dengan cepat aku berlari. Kembali menghampiri meja kecil tempat aku mengoret kertas-kertas kosong itu. Tak sempat membuka pintu saja, suara yang berirama sama kembali kudengar. Mau tak mau, aku harus penuhi. Aku  harus menjaga ponaan kecilku. Setelah itu, aku harus nyuci dengan tumpukan pakaian keluarga. Aku capek. sangat! Aku tak punya alas an untuk menolak perintah itu. Alas an menulis sangat lah tak ada artinya bagi mereka. Aku tahu mereka tak diam. Mereka juga punya banyak kerjaan. Tapi satu hal, tak dapatkah mereka membiarkan aku sedikit bebas atas waktuku? Juga untuk menyelesaikan pekerjaanku. Sama. Pekerjaan yang mereka juga anggap penting. Pula begitu denganku. Menulis itu penting untuk jiwaku yang semakin sepi. Tapi bagaimanapun aku tetap harus selesaikan perintah mereka itu. Lagi-lagi aku yang harus mengerti dan mengalah. Tak ada pilihan lain. Tak apalah hari ini aku tak menulis.
♫♫♫
Aku punya satu cara. Aku akan pindah kamar. Bibiku memiliki kamar kosong. Bertingkat, dua kamar. Ya, mungkin dengan ini aku akan lebih memiliki waktu bebas. Karena tak serumah dengan mbak. Meski jarak masih sangatlah dekat. Bahkan berdempetan. Aku pun akan usahan agar sepupuku bersedia meminjamkan komputernya untukku. Agar menulisku lebih lancar.
Dengan cepat, aku lakukan itu. Alhamdulillah, semua rencana terpenuhi. komputer sudah tersedia di kamar baruku. Tinggal aku pindahkan semua barang-barangku ke atas. Barang-barangku yang masih ada didalam kamar ponaanku.
Ibu datang, aku ceritakan akan pindahku ke kamar atas punya bibi. Dia hanya  diam. Dia tak terima aku pindah kamar. Entahlah, dia beralasan aku menjauh sebelum pergi. “yasudah. Pindah saja. Biar ibu sendiri. Sebentar lagi kamu akan berangkat ke kota sebelah untuk kuliah” aku tak enak hati. Ibu marah. Tapi sudahlah, itu hanya perasaan. Lagian aku memang ingin belajar tidak disisi ibu. Agar terbiasa. Agar nanti tak ada sakit kehilangan yang terlalu.
Aku beranjak ke kamar atas, mendaki tangga untuk menulis di kamar. Aaah! Suara yang lebih keras dan kasar menyerbuku. “Din,….. selalu saja lambat kalau dipanggil. Nggak denger apa?” “tadi aku diatas mbak. Jadi wajar nggak kedengeran. Ada apa lagi?” beli telor ke rumah nenek. Jalan kaki” “hah? Sejauh itu mau jalan kaki? Ini kan sudah hampir buka puasa mbak. Nanti malem aja. Yasudah, nggak usah pakek ikan buka puasanya” karena bahasa tadi. Aku harus berangkat. Jauh. Memang. Tapi ini bakti pada yang lain agar tak merasa tawar ketika makan. Yasudahlah, menulis bisa kapan-kapan. Aku tak mau dimarah atau dikucilkan dalam keluargaku hanya karena tak mengikuti perintah yang kewalahan itu.
Malam tiba. Aku mencoba hubungi teman kelasku lewat sms “lagi-lagi main hand phone. Nggak ada kerjaan lain apa? Ngabisin uang aja!” “bu. Kapan aku megang hp? Dari pagi ke siang lalu sore,… aku kerja. Bantuin ibu di dapur. Jadi aku mohon beri aku waktu untuk sekedar bermain. Aku tahu waktu kok. Pagi aku shalat dluha, ngaji. Udah. Dluhurnya pun aku selingi dengan ngaji lagi. Bahkan aku merasa aku tak mampu menghatamkan karena terlalu banyak tugas dari ibu dan mbak. Aku benar-benar tak menikmati ramadlanku. Aku masih kenal waktu bu. Dimana waktu itu ku bagi untuk Allah, keluarga. Dan sekarang untuk diriku bu’. Lalu, habis ashar aku  ke dapur. Bahkan bu karena tugas keluarga aku tak sempat datang ke kuburan ayah. Aku hanya mampu mengirimkan ayat cinta lewat fatihah yang ku sempatkan setelah shalat. Jadi kurang apa bu? Bahkan ketika teman-teman bawa hp saat tadarus aku nggak bawa. Terus masih mau bilang apa? Aku tidak mungkin dhalim pada waktuku bu. Meskipun kenyataannya aku tak pernah di beri waktu  untuk sekedar menulis. Meski sedikit. Aku sudah selesaikan semua pekerjaanku yang ibu dan mbak suruh. Jadi aku mohon untuk waktu malam saja, jangan marahi aku kalau aku main hp untuk menghubungi teman-temanku. Karena aku tahu bu. Aku pun butuh mengabari mereka. Sama, ketika ibu dan mbak butuh untuk aku menyelesaikan segala pekerjaan dapur serta cuciannya juga menjadi baby siter buat anak mbak. Jadi maaf  bu. Aku tak bermaksud untuk melawan. Tapi satu hal, agar ibu mengerti. Aku juga butuh tenangkan diri. Sudah tak sempat belajar. Padahal untuk hari-hari ini, aku ingin memperdalam bahasa inggris yang sama sekali sangat jauh dariku. Ingin menyelesaikan job atas pesanan tulisanku di majalah pondok. Semuanya untuk itu tak ada waktu. Apa aku juga tak boleh punya waktu untuk teman-teman ku? Maaf untuk hal ini. Aku membantah bu’” aku membalikkan badanku. Ibu diam. Mungkin dia baru paham atas kebosananku. Maafkan aku bu,… aku tak ingin menjadi anak yang kurang ajar untukmu. Aku mohon bu. Mengertilah, aku butuh teman untuk ku bagi kebosanan ini mencair menjadi biasa. Sekali lagi aku minta maaf bu. Aku hanya butuh kemerdekaan diriku yang telah merasa terjerat.

* penulis, yang tak punya KTP.  Yang masih belajar menulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar